KedaiPena.com – Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono mengapresiasi kebijakan pemerintah yang mencanangkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp300 triliun pada tahun 2025, naik dari Rp280 trilliun di tahun 2024. Ini bukti bahwa Pemerintah sangat peduli terhadap UMKM.
Ia menyatakan pemodalan akan menjadi salah satu pilar dalam membantu pengembangan usaha milik masyarakat kecil untuk dapat bertumbuh, naik kelas, hingga menimbulkan dampak ekonomi dalam mendukung target pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen.
“Tapi saya mengharapkan penyaluran KUR ini bisa lebih tepat sasaran dengan menjadikan Kementerian UMKM sebagai leading sector penyaluran KUR di Masyarakat UMKM. Sehingga dalam menentukan usaha mana yang bisa menerima kredit tersebut, bukan perbankan yang menjadi penentunya. Tapi koordinasi antara Kementian UMKM, Perbankan dan lembaga lain yang berkepentingan dalam penyaluran dananya,” kata Bambang Haryo, Kamis (6/2/2025).
Dengan menjadikan Kementerian UMKM sebagai leading sector-nya, diharapkan penyaluran KUR ini akan lebih tepat sasaran dan yang paling utama perlu dibantu dengan pemodalan KUR secara prioritas ini adalah usaha ultra mikro, mikro, dan kecil.
“Yang kami harapkan, dengan pemodalan KUR tersebut dan dengan bunga yang rendah, ketiga sektor ini bisa berkembang dan naik kelas. Dan dengan koordinasi Kementerian UMKM, diharapkan jangkauan penyalurannya pun akan menjadi lebih luas,” ujarnya.
Bambang Haryo menyatakan bunga KUR ini seharusnya bisa lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman yang biasa diberlakukan oleh perbankan.
![](https://assets.kedaipena.com/images/2024/12/IMG-20241130-WA0023-scaled.jpg)
“Anggaran KUR ini kan dari APBN. KUR ini pun sudah dijamin oleh asuransi BUMN dari Jamkrindo dan Askrindo, yang sudah mendapatkan Anggaran APBN berupa PMN sebesar Rp2 trilliun, jika memang terjadi gagal bayar dari para pelaku usaha. Jadi seharusnya semua perbankan tidak boleh takut nasabah KUR nya gagal bayar. Dan besaran bunga pinjaman harusnya jauh lebih rendah dari yang ditetapkan sekarang yaitu 6 persen. Seharusnya maksimal tidak lebih dari 3 persen,” ujarnya lagi.
Ia menyebutkan, apalagi data yang sudah ada, terlihat bahwa tingkat NPL (Non Performance Loan) dari penyaluran KUR adalah sangat kecil, yaitu di bawah 1 persen. Padahal pengusaha yang mendapatkan KUR saat ini masih banyak yang mendapatkan bunga di atas 6 persen. Seharusnya, tidak ada alasan bagi perbankan untuk merasa khawatir dalam menyalurkan KUR untuk UMKM.
Selain itu, ia pun berharap, agar perbankan tidak perlu lagi memberikan persyaratan agunan yang cenderung menyulitkan calon nasabah KUR.
BHS menambahkan bila perbankan dan Kementrian UMKM khawatir persyaratan usaha tidak memenuhi syarat, seharusnya KUR bisa diprioritaskan untuk para pedagang pasar. Yang saat ini banyak dari mereka yang menggunakan permodalan dari rentenir yang berbunga sangat tinggi. Dan perbankan maupun Kementrian UMKM bisa mengusahakan KUR untuk masuk ke pedagang pedagang pasar dimana pasar di Indonesia berjumlah sekitar 16.000 dengan pedagang rata-rata berjumlah 500 di satu pasar. Berarti ada 8 juta pelaku UMKM yang bisa menjadi target penyaluran KUR.
Ia pun mengharapkan pihak perbankan bisa memberikan bunga pinjaman yang lebih rendah dari 3 persen untuk program KUR ini. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia, yang memberikan bunga pinjaman yang rendah di bawah 3 persen dan pembebasan pajak kepada pelaku usaha kecil pada saat masih membayar pinjaman dan bunga. Dan jika pengusaha kecil itu dinilai berhasil mengembangkan usahanya, maka pinjaman dan bunganya akan langsung dihentikan. Dan pengusaha tersebut diwajibkan untuk membayar pajak sebagai gantinya.
“Cara seperti ini bisa diterapkan juga untuk KUR. Kan anggaran KUR itu duitnya rakyat dari APBN, ya harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Dan bunga pinjaman itu pun bukan untuk mencari profit, tapi lebih untuk membiayai pendampingan dan pembinaan pengusaha kecil itu, oleh Kementerian UMKM,” tuturnya.
“Apalagi penyumbang ekonomi terbesar di PDB kita, yaitu sebesar 60 persen adalah dari UMKM. Dan penyerap tenaga kerja terbesar sebesar 97 persen juga dari UMKM. Saya berharap Kementrian Keuangan bisa mempertimbangkan untuk mencukupi anggaran yang di butuhkan oleh Kementrian UMKM untuk membina dan mengawasi 67 juta UMKM yang ada di Indonesia. Maka di harapkan bila UMKM ini berkembang, yang paling berpeluang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju 8 persen yang diinginkan oleh Presiden RI Bapak Prabowo, adalah pertumbuhan dari UMKM itu sendiri.” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa