KedaiPena.Com – Sikap Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan kawan-kawan yang menolak Revisi UU Pemberantasan Tipikor (UU KPK) mendapat dukungan publik.
Aktivis Pergerakan 77-78 Ir. Syafril Sjofyan menilai, sangat aneh tiba-tiba DPR RI melakukan sidang paripurna yang hadir tidak sampai 100 orang, dari 560 orang Anggota DPR RI, memutuskan untuk merevisi UU tersebut.
“Benar dan kami setuju dengan pernyataan Pimpinan KPK,” tegas Syafril.
Revisi UU ini sangat aneh. Poin-poin revisi terindikasi tidak sesuai dengan agenda pemberantasan korupsi, yang rentan melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi.
“Saya sebagai aktivis dan tokoh lergerakan 77-78 yang tersebar di Indonesia menolak keras revisi tersebut. Apalagi hal itu dilakukan pada saat akhir periode DPR RI hasil Pileg 2014. Kami mensinyalir ada agenda yang sangat membahagiakan para koruptor dan calon koruptor,” sambungnya.
“Kami aktivis pergerakan 77-78 menolak dan akan menggerakkan jaringan aktivis 77-78 di seluruh Indonesia mengawasi perilaku wakil rakyat di DPR RI yang tidak lagi ‘legitimate’. Kami juga akan mengimbau masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan DPR RI yang tidak lagi membawa aspirasi rakyat secara benar,” tandasnya.
Untuk diketahui, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tegas menolak upaya revisi UU KPK yang baru saja disetujui semua fraksi di DPR. Ketua KPK Agus Rahardjo mencatat ada sembilan alasan KPK menolak revisi tersebut.
Menurutnya, sembilan alasan itu berdasarkan poin-poin yang ada dalam draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja pemberantasan korupsi lembaga anti rasuah.
Pertama mengenai independensi KPK yang terancam karena pegawai KPK dimasukkan dalam kategori aparatur sipil negara (ASN). Hal itu, katanya, berpengaruh pada independensi pegawai dalam menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.
“Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi, karena penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas (DP). Sedangkan DP dibentuk oleh DPR,” ujarnya saat jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).
Selanjutnya, pembentukan Dewan Pengawas (DP) yang dipilih oleh DPR. Menurut Agus, DPR tengah mencoba memperbesar kekuasaan yang tidak hanya memilih pimpinan KPK, tetapi juga memilih Dewan Pengawas.
Selain itu, ada juga pembatasan sumber penyelidik dan penyidik KPK. Karena, penyelidik KPK hanya akan berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.
“Kelima, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan korupsi ini mereduksi independensi KPK,” terangnya.
Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal, pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
KPK juga mempermasalahkan kewenangan pengambilalihan perkara dalam penuntutan yang dipangkas. KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di pasal 9 UU KPK.
Selanjutnya, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan juga dihilangkan. Seperti pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi.
“Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Sebab, selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi,” tegasnya.
Atas uraian itulah, KPK meminta DPR agar tidak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan, terutama yang mengancam keberadaan KPK. Meskipun, kewenangan membuat UU adalah sepenuhnya hak dari anggota legislatif dan pemerintah dalam hal ini presiden selaku ekskutif.
“KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK,” demikian Agus.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.
“Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?” tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.
Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju.
Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi.
Tok, Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.
Tanggapan setiap fraksi atas usul RUU ini lalu langsung diserahkan secara tertulis kepada pimpinan, tidak dibacakan di dalam rapat paripurna.
Setelah diketok di Paripurna, Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.
Laporan: Muhammad Lutfi