Artikel ini dibuat oleh wartawan senior, Arief Gunawan.
KALAU Aristokrasi ialah pemerintahan yang dipegang sekelompok kecil orang yang mendapat keistimewaan, sedangkan Demokrasi mengedepankan hak-hak rakyat dalam keputusan politik, maka Duitokrasi terjadi dalam praktek Presidential Treshold, yaitu penggarongan hak rakyat dalam memilih pemimpin.
Istilah Duitokrasi sinyalemen Profesor Denny Indrayana pakar hukum tata negara, mantan Guru Besar UGM Jogja, mantan Wakil Menteri Kehakiman dan HAM, aktivis anti korupsi & praktisi hukum yang memahami praktek beracara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di dalam masyarakat tribalisme kepemimpinan ditentukan oleh faktor kesukuan, dan dalam tatanan feodal kekuasaan diawetkan melalui hubungan kekerabatan. Politik dinasti, nepotisme.
Tapi Duitokrasi tak kalah berbahaya, karena rekrutmen kepemimpinan ditentukan oleh duit dengan pengendali oligarki yang disponsori para cukong.
Oligarki memegang peran dalam menentukan calon pemimpin.
Partai politik di dalam oligarki menjadi sekrup pemerasan bagi calon-calon pemimpin. Seperti terjadi dalam Pilkada dan calon pemimpin skala nasional.
Di tingkat Pilkada dan nasional para calon yang diusung partai punya bohir, cukong, atau bandar, masing-masing, yang akan kasih modal finansial.
Mayoritas finansial disetor ke kantong elit partai yang akan mengusung calon.
Makin besar nominal yang diberikan makin besar peluang jadi pemenang.
Dengan modal finansial dari cukong semua bisa diatur: untuk beli lembaga survei yang “simsalabim” menaikkan popularitas & elektabilitas, membeli pemberitaan dalam media, hingga pengamat yang akan kasih komentar puja puji kepada calon. Termasuk untuk menyuap oknum aparatur yang terkait.
Kalau sang calon menang terjadilah “Politik Balas Budi”.
Sang cukong pemberi modal akan mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Antara lain mendapatkan konsesi, perijinan untuk menguasai sumber daya alam yang ada di daerah dalam jangka waktu puluhan tahun, atau bentuk-bentuk penguasaan lainnya yang mendatangkan keuntungan lebih besar dibandingkan modal finansial yang telah diberikan.
Praktek transaksional seperti ini dalam “bisnis politik” para cukong, diistilahkan:
“Keluar uang kecil untuk masuk uang besar …”
Keuntungan super besar akan didapat sang cukong apabila menjadi bandar dalam Pilpres.
Ia dapat mengatur apa saja yang dimaui. Karena dengan sendirinya calon yang menang adalah boneka sang cukong.
Esensi “spirit filosofi” dalam Presidential Treshold adalah Keuangan Yang Maha Kuasa, alias Duitokrasi, yang menutup peluang bagi calon pemimpin nasional yang memiliki integritas, keberpihakan kepada rakyat, dan kemampuan problem solver.
Menurut Profesor Denny Indrayana Duitokrasi dalam Presidential Treshold termasuk jenis korupsi pemilu.
***