Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Pemilu 2024, terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Diduga kuat, terjadi pelanggaran brutal, terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Sedikitnya ada dua alat pelanggaran atau kecurangan TSM.
Yang pertama, alat curang menggunakan Sistem IT KPU Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi), yang diduga dirancang untuk manipulasi algoritme perhitungan perolehan suara yang menguntungkan paslon tertentu. Baca tulisan sebelumnya, “Dugaan Pelanggaran TSM Pemilu 2024: Alat Curang Sirekap”.
Alat curang kedua secara TSM, politik uang Bantuan Sosial yang dilakukan secara terang-terangan dan besar-besaran, dengan melanggar banyak peraturan perundang-undangan, termasuk Konstitusi.
Dalam Rapat Kabinet / Rapat Terbatas 6 November 2023, Presiden Joko Widodo secara sepihak, artinya tanpa persetujuan DPR, memutuskan memperpanjang Bantuan Sosial sampai Juni 2024, yang seharusnya berakhir pada November 2023, serta menambah anggaran Bulog senilai Rp19,1 triliun.
Keputusan perpanjang Bantuan Sosial secara mendadak dan menambah anggaran modal Bulog, tanpa persetujuan DPR, melanggar Konstitusi (UUD) dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Pasal 23 UUD mewajibkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan harus mendapat persetujuan dari DPR.
Sejalan dengan itu, Pasal 1 angka 7 UU Keuangan Negara mendefinisikan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 menegaskan: APBN, dan perubahan APBN, ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang.
Tetapi, Perubahan APBN 2024, terkait perpanjangan Bantuan Sosial yang diputus secara sepihak oleh Presiden Joko Widodo, tidak ditetapkan dengan undang-undang, dan tanpa persetujuan DPR. Artinya, melanggar Konstitusi dan UU Keuangan Negara.
Kemudian, Pasal 13 ayat (5) UU Keuangan Negara mewajibkan: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Sedangkan Bantuan Sosial dadakan arahan Presiden Joko Widodo tidak ada rinciannya di dalam APBN tahun anggaran 2024 yang disetujui DPR dan diundangkan pada 16 Oktober 2023. Artinya, juga melanggar Pasal 13 ayat (5) tersebut.
Kemudian terkait penambahan anggaran atau modal kepada Bulog, tanpa persetujuan DPR, melanggar Pasal 24 ayat (1) dan (2), di mana penyertaan modal atau pinjaman kepada BUMN hanya dapat dilakukan setelah ditetapkan dalam UU APBN yang telah disetujui DPR.
Apa konsekuensi dari semua pelanggaran ini?
Menurut Pasal 34 ayat (1) UU Keuangan Negara: Menteri/Pimpinan lembaga … yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN …. diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Perpanjangan Bantuan Sosial dadakan arahan Presiden Joko Widodo pada 6 November 2023 jelas termasuk penyimpangan kebijakan yang ditetapkan dalam UU APBN 2024, karena tidak ada anggaran Bantuan Sosial di dalamnya. Oleh karena itu, artinya, Presiden Joko Widodo terancam pidana penjara dan denda?
Pasal 35 ayat (1) UU Keuangan Negara kemudian menyatakan bahwa: Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
Kerugian negara akibat penyimpangan perpanjangan Bantuan Sosial APBN 2024 atas arahan Presiden Joko Widodo mencapai Rp50,14 triliun, melalui pemblokiran anggaran Kementerian/Lembaga melalui mekanisme Automatic Adjustment.
Kemudian, bahwa sudah ada bukti kerugian negara, yaitu penyimpangan APBN senilai Rp50,14 triliun, maka unsur tindak pidana korupsi seperti diatur di dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah terpenuhi.
Pasal 3 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda ….
Penyimpangan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial APBN 2024 atas arahan Joko Widodo, yang telah merugikan keuangan negara, patut diduga bertujuan menguntungkan Gibran.
Karena, sebelumnya, 3 November 2023, KPU mengumumkan bahwa pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo sudah lengkap, dan sah (menurut version KPU).
Sehubungan dengan ini, Presiden Joko Widodo patut diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Presiden dan pengguna anggaran APBN, mengubah APBN secara sepihak tanpa persetujuan DPR, memberi Bantuan Sosial secara mendadak yang sebelumnya tidak ada di dalam UU APBN 2024.
Oleh Karena itu, Presiden Joko Widodo juga diduga kuat melanggar UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Anti-KKN).
Pasal 1 angka 5 UU Anti-KKN menyatakan: Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 5 angka 4 UU Anti-KKN berbunyi: Penyelenggara Negara wajib tidak melakukan perbuatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kalau melakukan KKN, maka Penyelenggara Negara dapat dikenakan sanksi pidana, seperti bunyi Pasal 20 ayat (2).
Sulit dibantah, perpanjangan Bantuan Sosial dan penyimpangan APBN 2024 atas arahan Presiden Joko Widodo bertujuan menguntungkan kepentingan keluarganya, khususnya kepentingan Gibran. Artinya, Presiden Joko Widodo terindikasi kuat telah melakukan perbuatan KKN, sehingga melanggar UU No 28 Tahun 1999. Hal ini terbukti dari survei, mayoritas penerima Bantuan Sosial memilih pasangan Prabowo-Gibran. Konsekuensinya, Presiden Joko Widodo dapat dipidana.
Terakhir, akhir Januari 2024, Menko Airlangga mengumumkan, Presiden Joko Widodo secara mendadak juga memutuskan memberi Bantuan Langsung Tunai sebesar Rp200.000 per orang, untuk periode Januari-Maret 2024 (3 bulan), dibayarkan sekaligus Rp600.000 di bulan Februari 2024. Totalnya mencapai Rp11,2 triliun, untuk 18,8 juta penerima BLT. Hal ini juga termasuk penyimpangan APBN 2024.
Oleh karena itu, DPR wajib menggunakan hak dan kewajiban konstitusinya, hak angket, untuk menyelidiki penyimpangan APBN 2024, termasuk siapa saja penerima Bantuan Sosial Beras dan Bantuan Sosial Tunai.
Kepada DPR, dengarkan hati nurani, selamatkan demokrasi dan kedaulatan rakyat Indonesia, selamatkan Indonesia dari tangan tirani. Selamat menyelidiki!
[***]