Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Presiden harus taat konstitusi, harus taat hukum. Presiden melanggar hukum dan konstitusi wajib diberhentikan atau dimakzulkan. Kalau presiden diduga melanggar hukum atau konstitusi, DPR wajib memanggil presiden untuk mencari fakta atau klarifikasi atas dugaan pelanggaran tersebut. Kalau terbukti, DPR minta presiden diberhentikan.
Proses pemakzulan merupakan hal normal di negara demokrasi, sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR kepada presiden.
Proses pemakzulan juga sedang berjalan di Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, diduga telah menerima keuntungan finansial dari bisnis konsultan anaknya, Hunter Biden, ketika Joe Biden menjabat sebagai wakil presiden Amerika Serikat. Hunter Biden diduga telah menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan ayahnya ketika itu untuk kepentingan bisnisnya.
Investigasi awal sudah dilakukan. Proses pemakzulan terus bergulir. Awal minggu ini, DPR AS sudah menyetujui untuk menjalankan proses penyelidikan pemakzulan Joe Biden.
Di dalam negeri, juga bergema suara masyarakat menuntut pemakzulan presiden Jokowi, karena diduga kuat telah melanggar hukum dan konstitusi. Masyarakat mempunyai daftar panjang dugaan pelanggaran tersebut. DPR tinggal melakukan proses penyelidikan untuk mencari bukti atas dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi Jokowi.
Nampaknya, pembuktian untuk itu tidak terlalu sulit. Karena dugaan pelanggaran hukum atau konstitusi Jokowi cukup jelas.
Antara lain, kasus MK-Gate atau Gibran-Gate yang secara kasat mata melanggar konstitusi, melanggar hak konstitusi DPR sebagai lembaga legislasi, dan melanggar UU anti KKN, anti Nepotisme. Anwar Usman, adik ipar Jokowi dan paman Gibran, terbukti melanggar hukum dan konstitusi terkait moral dan etika tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan hakim wajib bersikap independen dan profesional, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, serta adil.
Jokowi juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya dengan melakukan perubahan UU KPK yang independen menjadi di bawah kekuasaan presiden (eksekutif). Perubahan UU KPK ini diduga kuat untuk melakukan intervensi atau menghalangi proses pemberantasan korupsi, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Terbukti, indeks persepsi korupsi turun dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022). Artinya, ada kekuatan besar yang menghambat proses pemberantasan korupsi.
Selain itu, PERPPU dan UU Cipta Kerja, UU IKN secara kasat mata juga terindikasi kuat melanggar konstitusi.
PERPPU Cipta Kerja bersifat manipulatif. Krisis ekonomi global yang menjadi alasan kegentingan memaksa telah membohongi publik dan melanggar konstitusi, karena faktanya tidak ada krisis ekonomi global. UU Cipta Kerja juga merugikan keuangan negara, perekonomian negara, serta merugikan keuangan masyarakat.
Kebijakan harga test PCR yang sangat mahal menguntungkan pihak tertentu, dengan merugikan keuangan negara dan keuangan masyarakat. Karena, menurut konstitusi pasal 33 ayat (2), cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti test PCR, harus dikuasai negara, tidak boleh dikuasai swasta apalagi dengan harga yang bersifat “mark up” alias kemahalan.
Kebijakan kartu Pra Kerja juga diduga menyalahgunakan kekuasaan yang menguntungkan pihak tertentu, antara lain penyedia platform pelatihan yang bersifat oligopolistik beraroma KKN, yang merugikan keuangan negara.
Penetapan APBN secara sepihak oleh Presiden, melalui Peraturan Presiden (Perpres No 54/2020, No 72/2020, PP No 98/2022), sangat jelas melanggar konstitusi, yang berbunyi bahwa APBN harus ditetapkan dengan UU APBN, setelah dibahas bersama, dan mendapat persetujuan, DPR.
Mungkin masih banyak kasus dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi lainnya, seperti proyek kereta cepat Jakarta Bandung, proyek infrastruktur termasuk jalan tol, atau pertambangan termasuk perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia.
Oleh karena itu, nampaknya tidak sulit bagi DPR untuk mencari fakta dan bukti atas dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Tergantung dari kemauan DPR saja, apakah mau menegakkan hukum dan konstitusi.
Setelah DPR yakin, dan terbukti, presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau konstitusi, proses selanjutnya DPR minta Mahkamah Konstitusi menetapkan presiden telah melanggar hukum atau konstitusi.
Untuk itu, DPR memerlukan 384 suara (kursi parlemen), dari total 575 kursi parlemen, untuk bisa mengajukan permohonan proses pemakzulan presiden kepada Mahkamah Konstitusi.
Proses selanjutnya di MPR. Untuk bisa memberhentikan presiden diperlukan 534 suara, dari 711 anggota MPR.
Memang, jumlah angka di atas kelihatannya sangat besar. Apakah mungkin?
Sebaliknya, kalau semua anggota DPR berpikir objektif dan taat konstitusi, jumlah angka di atas sangat mudah dicapai. Bahkan bisa jauh lebih besar dari angka minimum yang diperlukan.
Apakah DPR saat ini masih bisa menegakkan konstitusi? Waktu yang akan menentukan.
[***]