KedaiPena.Com – Dugaan korupsi proyek cetak sawah Kementerian BUMN tahun 2012, yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat Selasa lalu semakin mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi. Salah satunya adalah isu asal muasal penentuan harga satuan biaya cetak sawah.
Dari keterangan saksi Megananda Darjono di persidangan, selaku mantan Deputi Industri Primer pada Kementerian BUMN, yang pernah menjadi atasan Upik menyebutkan usulan rencana harga satuan biaya cetak sawah, sebesar Rp 97 juta per hektar, bukanlah berasal dari Upik Rosalina Wasrin, terdakwa dalam kasus cetak sawah.
Hal tersebut dikatakan oleh Drs Alfons Loemau, SH, MBus, selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Upik Rosalina.
Menurut Alfons, usulan rencana harga satuan biaya cetak sawah berasal dari kajian-kajian yang dilakukan oleh beberapa BUMN Pangan, yang ditunjuk untuk menjadi pengelola proyek cetak sawah. BUMN-BUMN Pangan tersebut adalah PT Sang Hyang Seri, PT Pertani dan PT Pupuk Sriwijaya.
“Mereka melakukan kajian-kajian secara teknis, dan merencanakan proyek cetak sawah yang dicanangkan Kementerian BUMN,†jelas Alfons dalam siaran Pers yang diterima oleh KedaiPenaCom, Kamis (19/10).
Kemudian, dia juga menjelaskan, bahwa Kementerian hanya membuat kebijakan, sedangkan urusan teknis diserahkan kepada BUMN.
“Hasil kajian mereka itulah yang dilaporkan kepada Menteri BUMN untuk selanjutnya menjadi bagian penting dalam pertimbangan kesediaan anggaran dan penentuan lokasi yang tepat untuk proyek cetak sawah,” imbuh dia.
Selain itu, kata Alfons, Upik Rosalina Wasrin selaku Asdep II Kedeputian Industri Primer (IP) diminta oleh atasannya untuk mencari dan menyiapkan data-data berkaitan dengan cetak sawah.
Upik, kata Alfons, mengangkat bahan-bahan yang berasal dari Laporan ketiga BUMN Pangan tersebut dan mengajukan kepada atasannya, termasuk di dalamnya adalah perkiraan harga satuan biaya cetak sawah.
“Upik menyajikan kepada atasannya data-data tentang cetak sawah yang berasal dari hasil Laporan tiga BUMN Pangan, beliau posisinya hanya seorang bawahan dari Deputi IP sampai tanggal 6 Maret 2012 sebelum dimutasi menjadi Asdep PKBL di Kedeputian RPS,†kata Alfons.
Selanjutnya Alfons menambahkan pada saat itu rencana proyek cetak sawah Kementerian BUMN yang masuk dalam Program GP3K Ekstensifikasi masih dini, lokasi dan sumber pembiayaan sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah proyek pun masih belum clear.
“Tidak mungkin pada saat itu Upik dapat menentukan kebijakan sendiri,†tegas Alfons.
Dia juga menambahkan tugas seorang Asdep adalah menyediakan data, memberikan masukan namun tidak memutuskan. Produk yang bisa dikeluarkan oleh Asdep adalah sebatas nota dinas yang berisi informasi, usulan dan saran kepada atasan, bukan serta merta sebuah Surat Keputusan.
Usulan harga satuan biaya cetak sawahpun masih berupa asumsi, yang belum bisa dijadikan pegangan untuk realisasi. Masih banyak faktor yang mempengaruhi untuk dapat menjadi sebuah kajian terinci.
“Sebagaimana kesaksian Megananda dalam persidangan minggu yang lalu, semuanya masih asumsi awal yang masih memerlukan kajian mendalam untuk sampai tahap realisasi cetak sawah,†tegasnya.
Demikian pula sumber dananya, karena tidak termasuk dalam Anggaran Kementerian BUMN yang dibiayai melalui APBN 2012. Sehingga rencana pembiayaan program cetak sawah masih dikaji sumber pembiayaannya.
“Apakah bersumber dari equity, atau dari pinjaman bank, ataukah bersumber dari Dana PKBL,†ujar Alfons.
Menurut Alfons, dalam Hukum Administrasi Negara, pejabat memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu sesuai tata urut kedudukan atau hirarki.
“Kewenangan itu ada tiga jenis yakni atributif, delegatif dan mandat. Atribusi pemberian wewenang berdasarkan undang-undang yang melekat pada si pemilik wewenang, delegasi pelimpahan wewenang semua dilimpahkan termasuk akibat hukumnya, ketiga adalah mandat wewenang dilimpahkan kepada bawahan, namun tanggungjawab hukum tetap ada si pemilik wewenang,†jelas Alfons.
Upik sebagai Asdep II Kedeputian IP hanya melaksanakan mandat atasan, perintah atasan. Secara hukum ia tidak bisa dimintain pertanggungjawaban.
Karena itu Alfons, sangat menyesalkan pihak-pihak yang menyudutkan Upik sebagai orang yang bertanggungjawab dalam proyek cetak sawah.
“Termasuk kesaksian Mohamad Zamkhani yang diduga telah memberikan keterangan palsu dibawah sumpah, yang mengatakan bahwa usulan harga satuan biaya cetak sawah berasal dari Upik,†jelas Alfons.
Pihaknya akan melaporkan kepada kepolisian, atas dugaan keterangan palsu yang dilakukan oleh Zamkhani.
“Kami tidak main-main dalam kasus ini, karena klien kami sangat dirugikan atas dugaan keterangan palsu yang telah disampaikan oleh Zamkhani dalam sidang di pengadilan Tipikor, Rabu 4 Oktober 2017,†tegas Alfons.
Laporan: Muhammad Hafidh