PEMILIHAN Kepala Daerah Serentak Tahap Kedua yang di dalamnya meliputi Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DKI Jakarta dijadwalkan terselenggara pada bulan Februari 2017. Adalah sangat menarik mengamati para Bakal Calon Gubernur dan Bakal Calon Wakil Gubernur yang akan maju dalam Pilkada Propinsi DKI Jakarta tersebut.
Salah satu hal yang menarik ialah munculnya gerakan relawan secara masif. Gerakan relawan secara masif pertama kali muncul dan mencuat adalah ketika perhelatan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 yang berlangsung pada 11 Juli 2012 dan putaran kedua pada 20 September 2012.
Isu deparpolisasi juga mencuat pada pilkada DKI Jakarta kali ini. Pertanyaan yang kemudian timbul apakah ini menafikan keberadaan parpol yang telah mengambil peran sejak Pemilu 1955 yang lalu yang dianggap sebagai Pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Republik ini.
Masyarakat DKI Jakarta adalah homogen dan sisi demografi yang heterogen pastinya secara umum mengidentifikasikan issu SARA tidak berdampak signifikan atas pilihan pada Pilkada.
Tatanan Pemerintahan Negara yang berhaluan demokrasi mensyaratkan kewajiban kehadiran partai politik yang merupakan instrumen dalam proses rekrutmen para calon pemimpin pada semua tingkatannya via pemilihan umum.
Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara demokratis mendorong kelompok non partai memperjuangkan hak warga negara untuk bisa menjadi calon diluar calon parpol. Perjuangan ini selanjutnya diputuskan MK dengan membenarkan calon perseorangan sebagai hak konstitusi warga negara.
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan parpol maupun calon perseorangan, keduanya konstitusional.
Fenomena calon perseorangan harus dilihat dari perspektif politik partisipatif mengingat parpol membutuhkan mekanisme dan aturan kelembagaan, maka terjadi adagium bahwa calon tidak ingin “tersandera” oleh parpol memilih sebagai calon perseorangan.
Seperti saat Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam calon pasangan gubernur dan wakil gubernur, 4 pasangan diusung oleh partai politik dan dua pasangan berasal darì calon perseorangan.
Jikalaupun cukup 7,5 persen dari jumlah pemilih syarat dukungan namun tidak mudah lolos verifikasi karena harus tersebar lebih dari 50 persen di jumlah kota (untuk DKI Jakarta ada 5 kota dan 1 kabupaten). 7,5 persen dari jumlah pemilih modal dukungan tentulah belum cukup untuk menang. Ada variable lain yang mesti dihitung cermat seperti figur lawan, mengelola issu, penguasaan media, mengorganisir pemilih. Dan memenangkan pilgub DKI Jakarta membutuhkan lebih dari 50 persen jumlah suara sah.
Berangkat dari gambaran hasil pilgub DKI Jakarta 2012 tersebut, sepertinya peluang untuk memenangkan kontestasi dari jalur calon perseorangan perlu dihitung cermat.
Partai politik merupakan instrumen demokrasi. Kepentingannya yakni untuk melahirkan pemimpin yang dibutuhkan rakyat yang mampu menerjemahkam visi Presiden Jokowi yakni Trisakti.
Melihat konfigurasi sebaran dukungan parpol dan munculnya banyak figur calon, sebaiknya Ahok tidak terlalu percaya diri dengan modal popularitas dan elektabilitas. Dan jika Ahok bersikukuh siap bertarung di jalur calon perseorangan dengan mengusung pasangan Ahok-Heru, maka pasangan Risma-Dasyat (Tri Rismaharini-Djarot Saiful Hidayat) pastinya dapat membendung laju elektabilitas Ahok-Heru dari hulu ke hilir.
Oleh Denny Agiel Prasetyo, Eksponen 98 dan Ketua Umum Pimpinan Pusat BM Hipmikindo