KedaiPena.Com – Skema ambang batas 20 persen atau presidential threshold ditetapkan masih berlaku. Dua hakim konstitusi yang mendukung penghapusan presidential threshold 20 persen, Suhartono dan Saldi Isra, kalah melawan mayoritas hakim konstitusi yang masih mendukung pemberlakuan skema yang menuai pro dan kontra tersebut.
“Sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang,” kata Suhartoyo dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, ditulis Jumat (25/2/2022).
Kedua hakim konstitusi ini menyatakan dengan diberlakukannya pemilu serentak maka rezim ambang batas menggunakan hasil pemilu anggota DPR menjadi kehilangan relevansinya. Dengan tetap memberlakukannya maka sama saja dengan melakukan sesuatu yang inkonstitusional.
Selain itu, jika diaplikasikan dalam desain sistem pemerintahan, dengan mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau Presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.
Kedua hakim konstitusi ini menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden).
“Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama. Bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif,” tutur Suhartoyo dan Saldi Isra.
Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer.
“Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia,” ujar kedua hakim konstitusi ini.
Laporan: Natasha