PADA Kamis 24 Mei 2018 sekitar pukul 22.00 WIB, Pansus RUU Perubahan UU Terorisme mengakhiri pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme dengan menandatangi naskah RUU Perubahan UU Terorisme yang disepakati oleh semua fraksi dalam pembicaraan tingkat I di DPR.
Hasil kesepakatan tersebut akan dibawa kepada Pembicaraan Tingkat II atau Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang. Rapat tersebut akan diselenggarakan pada Jumat, 25 Mei 2018 dalam Rapat Paripurna.
Salah satu pembahasan yang cukup alot adalah pembahasan mengenai definisi terorisme. Definisi Terorisme ini memang tak pernah ditemukan dalam UU No. 15 Tahun 2003. Demikian pula dalam UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Bahkan dalam RUU yang di rumuskan oleh pemerintah, pengertian terorisme ini juga sengaja tidak dicantumkan. Sedari awal pemerintah tidak merumuskan definisi mengenai terorisme.
Dalam Rapat terakhir 24 Mei 2018 pun Menteri Hukum dan HAM membenarkan bahwa naskah RUU Pemerintah tidak merumuskan definisi tindak pidana terorisme. Dalam perkembangan pembahasan, permasalahan definisi ini telah menuai perdebatan.
Pihak DPR bersikeras bahwa terorisme harus didefinisikan. DPR juga meminta Pemerintah untuk segera mendefinisikan terorisme. Sejak awal pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme yang dimulai dari 11 Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak, salah satunya dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), juga meminta pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme untuk merumuskan secara tepat definisi terorisme.
Baru pada 23 Mei 2018, di masa-masa akhir pembahasan RUU Terorisme, pihak Pemerintah memberikan 2 opsi rumusan definisi terorisme, yaitu;
Alternatif I
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis. Lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitasi internasional.
Alternatif II
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitasi internasional dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan.
Pada pembahasan 24 Mei 2018 disepakati penggunaan definisi alternatif II oleh Pemerintah dan DPR, yang menyertakan unsur “dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan†dalam pengertian terorisme.
Sedari awal masa pembahasan, ICJR selalu memberikan masukkan bahwa definisi Terorisme sangat penting dan merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, maka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar.
Ketentuan mengenai tindak pidana dalam RUU Perubahan UU Terorisme mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 18, khusus dalam Pasal 9, Pasal 10A, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13, Pasal 13A Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 16A menyertakan unsur “tindak pidana terorisme†yang harus dibuktikan, sehingga definisi terorisme dalam Pasal 1 yang diputuskan tersebut sebagai unsur tindak pidana bagi pasal-pasal tersebut haruslah bersifat jelas, tidak karet, tidak multitafsir atau kabur dan tidak menghasilkan pengertian lain.
ICJR pada pembahasan awal RUU Perubahan UU Terorisme telah memberikan masukkan bahwa perumusan definsi harus hati-hati dan presisi termasuk menghindari terminologi yang kabur untuk menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan.
Definisi terorisme harus diletakkan pada perbuatan yang benar-benar memenuhi unsur terror dan penghasutan untuk melakukan terror yang digunakan dalam tujuan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Sedangkan definisi Terorisme yang disepakati Pemerintah dan DPR justru menimbulkan interpretasi yang kabur dan multitafsir.
Pertama, unsur “yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massalâ€, sangat jelas terlihat bahwa rumusan ini berpotensi menghadirkan penafsiran yang tidak jelas, karena akibat terorisme tidak dipersempit pada perbuatan yang mengakibatkan korban dalam jumlah banyak.
Kedua, unsur “dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamananâ€. Menyertakan unsur motif tersebut secara jelas akan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan seluruh unsur tindak pidana terorisme terpenuhi. Padahal unsur motif tersebut rentan menjadikan delik terorisme menjadi delik poliitik.
Dengan definisi yang telah disepakati tersebut, maka penegakkan hukum pidana terorisme tidak hanya menjadi sulit sekaligus juga rentan terhadap masukknya kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penegakkan hukum
Oleh Anggara, Direktur Eksekutif ICJR