Artikel ini ditulis oleh Cahaya Sugiharto, Pemerhati Sosial Politik.
Uda ini lahir di kota Padang, tapi ketika baru berumur 8 tahun sudah yatim piatu. Meski ditinggal pergi kedua orang tuanya, uda ini termasuk orang pandai. Kok bisa? Ternyata almarhum ibunyalah yang mengajarkannya membaca sejak masih kecil.
Dari Padang, uda berubah menjadi Kang karena pindah ke Bogor Jawa Barat, tinggal bersama neneknya. Tentu otaknya encer, selain membaca, si bung menggemari pelajaran Matematika, sehingga kemudian setelah lulus SMA, ia ikut tes dan diterima di Institut Teknologi Bandung atau ITB.
Akan tetapi kini banyak orang memanggilnya dengan sebutan Bung karena beberapa kali menjadi pemimpin demokrasi dan menjadi Menteri.
Namanya Bung Rizal Ramli atau Bung RR. Bung RR suka mempelajari matematika, alasannya dengan belajar matematika, maka seseorang memiliki hasrat untuk selalu mencari jalan keluar.
Bagi bung RR bukan sekedar jalan keluar, tapi matematika membuka langlah-langkah lebih cepat atau out of the box. Pemikiran yang out of the box ini memang sudah banyak contohnya.
Salah satu contoh yang mungkin agak lucu adalah ketika bung Rizal menjadi Kabulog yang mengurusi logistik pangan, tiba tiba ia diminta Presiden Gus Dur waktu itu untuk membenahi IPTN.
Di awal tahun 2000, perusahaan ini rugi hingga ratusan miliar karena krisis ekonomi. Jadi bung RR yang awalnya mengurusi beras atau kebutuhan pokok, tetapi saat yang sama harus membenahi perusahaan yang bikin pesawat.
Otak out of the box-nya pun jalan. Caranya memasukan anak-anak muda yang mampu menjalankan bisnis. Bung RR kemudian melakukan restrukturasi utang IPTN sehingga ‘sustainable’. Selain itu bukan hanya bikin pesawat sendiri, tapi juga mengerjakan pekerjan outsourcing untuk Boeing dan Airbus.
Nama perusahaan juga diganti dari IPTN menjadi PT DI sebagai tanda perubahan paradigma dari ‘perusahaan pesawat terbang’ menjadi ‘perusahaan pesawat terbang kompetitif’. PTDI yang tadinya rugi ratusan miliar, dalam 2 tahun untung 16 miliar.
Kembali cerita di ITB. Saat kuliah di ITB mulai tahun 1973, Bung Rizal ternyata penuh jatuh bangun. Ia sempat tidak kuliah satu semester awal karena harus bekerja menjadi pengawas percetakan di Kebayoran Baru. Selama kuliah, ia bekerja sebagai translator karena kemampuan bahasa Inggrisnya lumayan baik.
Bung RR juga aktif dalam gerakan pro demokrasi, padahal tahun 1970-an itu, rezim Soeharto sangatlah kuat. Katanya waktu itu, jangankan melakukan demostrasi, baru mimpi atau ingin saja, sudah punya resiko untuk ditangkap.
Bung Rizal Ramli malah membuat sebuah gerakan besar untuk memperbaiki Indonesia. Melalui Dewan Mahasiswa ITB, tahun 1976, Bung RR membuat Gerakan Anti Kebodohan atau GAK, untuk memperjuangkan UU Wajib Belajar 6 tahun agar 8 juta anak umur SD bisa bersekolah.
Gerakan GAK ini kemudian diikuti oleh universitas-universitas se-Bandung dan Jakarta, UI, UGM, IPB dan lainnya. Gerakan itu berhasil mendorong pemerintah beberapa tahun kemudian untuk melaksanakan UU Wajib Belajar 6 tahun.
Setahun kemudian, DM ITB dan Dewan dan Senat Mahasiswa se-Bandung meminta MPR pada tahun 1977-1978, agar tidak menerima pencalonan Pak Harto sebagai Presiden atau jelasnya, menolak Pak Harto kembali menjadi Presiden.
Jadi sejak muda bung Rizal Ramli sudah berani menyuarakan agar Presiden selalu pro pada rakyat dan jika berkuasa pun ada batasnya. Hingga sekarangpun bung RR ini sangat getol menyuarakan agar jabatan Presiden tidak lebih dari dua periode.
Nah, soal jabatan Presiden yang dua kali periode ini, bung Rizal sejalan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, ibu Megawati Soekarno Putri.
Nah ini, ayahnya ibu Megawati, Bung Karno juga lulusan ITB. Bung Karno yang pada tahun 1921 kuliah di Technische Hoogeschool (T.H.S.) yang kemudian berubah nama menjadi ITB. Bung Karno saat jadi mahasiswa memilih jurusan Teknik Sipil.
Lulusan teknik sipil, biasanya sih kerjanya membangun jalan, jembatan, terowongan atau bendungan. Tapi Bung Karno juga out of the box, dia bukan sekedar berpikir membangun infrastruktur tetapi lebih berpikir membangun Indonesia yang merdeka. Musuhnya saat itu adalah pemerintah koloni Belanda yang sangat otoriter dan berkuasa.
Bung Rizal dengan gerakan pro demokrasinya ditangkap tahun 1978. Bung Rizal mengungkapkan saat itu ITB diduduki tentara selama 3 bulan, dan ia dan banyak kawan-kawan mahasiswa ditangkap, di penjara militer selama empat bulan dan melanjutkan satu tahun di penjara Sukamiskin Bandung.
Saat itu Bung Rizal dan kawan-kawannya Irzadi Mirwan, Abdul Rachim dan Yosef Manurung yang baru berusia 22 tahun diadili karena dianggap menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa.
Buku Putih itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Ingrris oleh Prof. Ben Anderson dari Universitas Cornel, dan kemudian diterjemahkan ke dalam 6 bahasa lain sebagai dokumen penting dalam perjuangan pro demokrasi dan anti KKN di Indonesia. Biasa obyektif, meski ia di penjara sekitar 1,6 tahun, Bung Rizal tetap menghargai perjuangan Pak Harto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Bung Karno, beberapa kali ditahan dan dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda. Di Bandung, Bung Karno pernah ditahan di LP Banceuy, Sukamiskin, diasingkan ke Ende, Bengkulu, Brastagi, hingga pulau Bangka. Meski berkali-kali dipenjara dan dibuang, tetapi ahirnya Bung Karno dan Bung Hatta dkk berhasil membawa bangsa Indonesia mencapai Kemerdekaan. Kata Merdeka itu, selalu diucapkan oleh ibu Megawati saat berpidato.
Bung Rizal memang tidak pernah dibuang ke luar daerah, tetapi sikap kritisnya sempat membuatnya “dibuang, terlempar dari kekuasaan” di pemerintahan.
Terakhir ia hanya dipercaya satu tahun untuk menjadi Menko Maritim di pemerintahan Pak Jokowi. Bung Karno tetap semangat dalam pembuangannya, bung Rizal Ramli tetap semangat membela rakyat kecil, mulai dari kesulitan akibat kebijakan ekonomi yang tidak pro bahkan merugikan rakyat. Termasuk harga BBM yang naik hingga peraturan Omnibus Law yang merugikan buruh.
Jika bung Karno dan Bung Hatta bisa memerdekakan Indonesia, Bung RR memiliki potensi dan kemampuan untuk membuat Indonesia lebih baik pasca Jokowi di bidang ekonomi, politik dan sosial. Merdeka, Merdeka, Merdeka!
[***]