Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Tambang, migas, besar ukurannya, besar rongga sedotan minyaknya, besar lobang tambangnya, tapi kecil buat negara dan masyarakat. Bisnis sedot keruk selama ratusan tahun sekarang telah menyisahkan kerusakan lingkungan yang parah, pencemaran, emisi karbon, dan dampak sosial ekonomi lainnya yang mengerikan. Tambang sekarang lebih terlihat sebagai liability ketimbang sebagai aset. Masalahnya sudah sangat crowded namun harus diatasi dengan cepat.
Khusus minyak Menteri Bahlil menghadapi tiga masalah utama. 1) Bisnis ini telah menjebol APBN melalui subsidi dan kompensasi, 2) bisnis ini telah merobek neraca perdagangan dikarenakan impor yang terus membengkak sementara produksi menurun dan 3) binis minyak Indonesia telah menjadi ancaman yang besar bagi lingkungan hidup karena menjadi sumber polusi utama perkotaan yang menyumbang 40 persen polusi Jakarta.
Jebolnya APBN kita tau merupakan kesepakatan antara bandar minyak dengan DPR dan pemerintah. Negara memang telah menjadi korban selama bertahun tahun sejak reformasi yang melahirkan UU Migas. Bisnis migas memang memjadi tempat penampungan oligarki dan elite politik. Jadi APBN jebol disimpulkan sebagai strategi memperkaya oligarki migas.
Masalah impor migas, sama dengan masalah impor pangan atau impor barang konsumsi lainya. Ada mengatur agar Indonesia tergantung pada impor. Demikian juga impor migas semua telah didesain secara sempurna bagi usaha memperkaya bandar minyak impor. Jadi seberapapun banyaknya Capex Pertamina, atau investasi yang mengalir ke sektor migas, sangat tidak mungkin ada peningkatan produksi minyak. Belanja proyek dimigas hidup dari masalah, ada masalah ada proyekan, jadi masalah harus dilanjutkan. Begitulah cara pesugihan di sektor migas.
Masalah isue polusi dan climate change perlu menjadi perhatian paling utama karena menyangkut masa depan keuangan pemerintah. Sebagaimana regulasi internasional telah membuat keputusan bahwa tidak ada uang lagi yang mengalir ke sebuah negara diluar tema perubahan iklim. Kalaupun ada maka itu biayanya sangat tinggi. Indonesia yang sudah terbeban utang besar akan terbeban lagi karena sikap apriorinya terhadap masalah perubahan iklim. Tapi kelihatanya elite Indonesia yang terbentuk dari proyekan migas dan keruk SDA tampaknya tidak mau kerja, tapi mau uangnya perubahan iklim.
Menteri Bahlil tentu saja telah mempersiapkan strategi dan taktik (stratak) menghadapi masalah ini. Meskipun belum dia katakan atau belum dia umumkan dan masih disimpan di dalam hatinya. Mudah mudahan stratak ini benar benar akan dapat menjebol kebekuan atau tidak adanya kemajuan dalam satu dasawarsa terakhir.
Menteri Bahlil konon punya kemampuan bermain bagus. Telah memunjukkan kepiawaiannya dalam menggunakan secara efektif transfer kewenangan dari Kementerian ESDM ke BKPM dalam memberikan perpanjangan ijin tambang kadaluarsa kepada ormas. Apakah sekarang akan efektif menggunakan kewenangannya di ESDM dalam menyelesaikan tiga masalah migas?
[***]