PRESIDEN Joko Widodo telah gagal total dalam mengurus Indonesia. Dia tidak mampu mengambil langkah-langkah subtantif yang solutif atas berbagai persoalan yang membelit. Empat tahun berkuasa dia hanya menjadi penonton dari sengkarut kebijakan yang dilahirkan para menterinya. Kemampuan leadership-nya majal. Kapasitas dan kapabilitasnya jauh ora nyandak.
Alih-alih menjalankan fungsi sebagai pemimpin yang memberikan arahan kepada para pembantunya, Jokowi justru sibuk dengan hal-hal remeh yang kosong-melompong. Publik, dengan geram, menyebut akrobatnya sebagai pencitraan. Parahnya lagi, Jokowi masih saja mengandalkan aji pencitraan karena dianggap sukses menyihir rakyat Indonesia pada Pilpres 2014.
Lebih parah lagi, pencitraan menjelang Pilpres 2019 dilakukan di lokasi-lokasi bencana. Maka, rakyat dijejali adegan foto sendiri di lokasi bencana Lombok, Palu, Pandeglang. Ada adegan termenung dan berjalan sendiri di pantai yang diterjang tsunami.
Saya tidak tahu bagaimana penilaian para ahli jiwa tentang Jokowi. Mustahil kalau dia tidak tahu, bahwa foto-fotonya di lokasi bencana menuai pro-kontra. Bukan mustahil juga jika dia tahu, bahwa lebih banyak rakyat yang sebal dengan foto-foto itu. Kendati begitu, syahwatnya berfoto ria untuk pencitraan di lokasi bencana terus saja diproduksi dan disebarkan.
Beberapa waktu lalu, atmosfir dunia maya disesaki foto-foto Jokowi menjadi imam shalat di banyak tempat dan kesempatan berbeda. Buat muslim yang paham adab dan kaifiat shalat berjamaah, dengan gampang segera tahu bahwa adegan shalat itu sarat dengan kekeliruan. Misalnya, posisi imam tidak di mihrab yang telah disediakan. Dia memilih mundur satu shaf, yang segera diterjemahkan oleh para netizen supaya bisa memperoleh sudut pengambilan gambar yang pas agar bisa booming.
Masih soal shalat berjamaah, pada foto yang lain tampak posisi makmum yang tidak rapat dan lurus. Bahkan ada foto yang beredar, Jokowi telah takbiratul ihram dengan sempurna, tapi jamaah masih clingak-clinguk, merapikan pakaian, dan lain-lain. Pendek kata, makin banyak foto dia menjadi imam shalat disebarkan, makin menunjukkan ketidakpahaman Jokowi atas tata tertib dan adab shalat berjamaah.
Sawah dan cukur
Namun, sepertinya bukan Jokowi kalau tidak ngeyel. Dia terus saja memproduksi dan menyebarkan foto pencitraan. Yang terbaru adalah kunjungannya ke Garut, Jawa Barat. Rasanya, belum pernah ada dalam sejarah, petani yang siap tandur (menanam padi) di sawah dikalungi id card.
Mereka diminta berdiri rapi (berbaris) dengan arahan sutradara (?). Sementara di galengan, berderet penonton pengambilan adegan ‘drama’ pencitraan. Pada beberapa foto yang beredar, juga tampak para petugas pengambil gambar, mulai dari yanfg menggunakan hand phone, kamera foto, hingga khusus untuk pembuatan video.
Di adegan film apa pun, komersial maupun dokumenter, belum pernah ada petani standby di sawah dengan id card menggantung di lehernya. Hanya terjadi di Garut, dan itu pun cuma untuk kepentingan pencitraan Jokowi!
Masih drama di Garut, rakyat juga disuguhi acara cukur massal Presiden dan rombongan VIP-nya di bawah pohon rindang. Entah pesan apa yang ingin disampaikan. Mungkin, Jokowi ingin mengatakan kepada rakyatnya, bahwa dia adalah sosok yang sederhana, yang tidak segan-segan memangkas rambut di tempat terbuka oleh para tukang rambut asal Garut.
Sayangnya, sebagai ‘aktivis’ sosial media Jokowi sepertinya lupa, bahwa jejak digital sangat kejam. Herman, ‘tukang cukur asal Garut’ yang diklaim langganannya itu, ternyata bukan anggota Persaudaraan Pemangkas Rambut Garut (PPRG).
Herman adalah pemilik barbershop bagi kalangan atas dengan tarif aduhai. Kepada awak media, dia mengaku memang Jokowi adalah pelanggannya, dengan tarif sekali cukur bisa untuk membeli sawah. Foto-foto yang beredar di grup-grup WhatsApp dan sosmed menunjukkan Herman sedang in action di tempat yang diduga barbershop miliknya.
Sekali lihat, orang dapat dengan gampang mengetahui ada yang ‘aneh’ dari Herman ini. Dibanding para tukang cukur lain yang memangkas rambut menteri dan pejabat tinggi rombongan Presiden, tampilan Herman memang paling beda.
Dia memakai celana hitam, kemeja putih, blazer hitam, topi, dan sarung tangan. Singkat kata, Herman sangat perlente. Sebaliknya, para tukang cukur lainnya yang mengenakan udeng batik warna biru, berbalut kaus merah bergaris hitam putih.
Siapakah Herman? TribunJakarta.com dari grup media mainstream menulis judul berita Bertemu Tukang Cukur Langganan di Garut, Jokowi Berseoroh Soal Gaya Rambut Saat Dicukur Herman.
“Saat mengunjungi Kabupaten Garut, Jawa Barat, Presiden Jokowi mengikuti acara cukur rambut massal yang digelar di Situ Bagendit, Kecamatan Bayuresmi, pada Sabtu (19/1/2019). Di sana Jokowi bertemu dengan tukang cukur langganannya, Herman. Ternyata Herman yang sudah menjadi langganan Jokowi di Jakarta sejak tahun 2013 asli dari Garut.” Begitu antara lain ditulis.
Tidak harus menjadi jurnalis andal untuk mengenali berita ini diragukan akurasinya. Rakyat awam pun bisa tahu, bahwa Jokowi jelas tidak kebetulan bertemu Herman di lokasi cukur massal di Garut. Herman (sangat mungkin) adalah anggota rombongan Presiden yang berkunjung ke Garut. Kalau pun dia tidak ikut dalam rombongan, setidaknya Herman diajak Jokowi ke Garut dan tugas apa saja yang harus dilakukannya. Mana bisa yang begini disebut kebetulan?
Jadi, sampai di sini diketahui telah diproduksi dan disebarkan berita hoax, setidaknya berita yang tidak jujur. Sebuah adegan yang telah direncanakan sejak awal (jauh-jauh hari di Jakarta), dikemas seolah-olah peristiwa kebetulan yang mengandung human interest. Pencitraan lagi, pencitraan lagi (untuk menghindar menyebut; hoax lagi, hoax lagi).
Doyan pencitraan
Tidak bisa tidak, drama Garut adalah satu lagi bukti bahwa Jokowi memang kelewat doyan dengan pencitraan. Padahal, dagangan seperti ini sudah tidak laku lagi. Pada Pilpres 2014, mantan tukang mebel itu memang sukses menyihir rakyat dengan citra sederhana, blusukan, merakyat. Tapi, setelah empat tahun, rakyat jadi sadar, bahwa Indonesia membutuhkan Presiden yang paham persoalan yang membelit negeri ini, tahu solusinya, dan mampu mengeksekusinya.
Jika Jokowi masih bermimpi terus dan terus memainkan jurus pencitraan, bisa dipastikan elektablitasnya bakal kian mengerut. Sekarang saja, selisih kedua Capres tinggal satu digit. Menurut Lembaga Survei Median, selisih keduanya tinggal 9,2%. Pasangan 01 tinggal 47,9%, Prabowo-Sandi 38,7%. Sedangkan rakyat yang belum menentukan pilihan sebanyak 13,4%.
Saya tidak ingin berpanjang kata tentang Garut. Satu hal yang pasti, peristiwa Garut dan di banyak lokasi lain, adalah suguhan pencitraan menyebalkan. Indonesia adalah negara besar yang kini dililit berbagai persoalan besar. Neraca perdagangan yang njomplang hingga US$8,75, utang luar negeri Rp5.000an triliun, mahalnya harga berbagai kebutuhan pokok, sempitnya lapangan kerja karena diserobot tenaga kerja asing (TKA) asal China, merosotnya daya beli masyarakat, dan kinerja BUMN yang jauh di bawah banderol adalah bagian dari bermacam persoalan besar yang butuh penyelesaian secara cepat dan tepat.
Itu dari sisi ekonomi. Di bidang penegakan hukum, terasa sekali aparat, khususnya Polisi, telah menjadi alat penguasa. Berbagai laporan penistaan agama dan pelanggaran hukum yang dilakukan pihak-pihak pendukung penguasa, nyaris tak ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika pelakunya dari kelompok oposisi, Polisi bergerak sangat sigap.
Contoh terbaru bagaimana njomplangnya penarepan hukum adalah dicokoknya anak di bawah umur di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya karena memposting kalimat yang dianggap menghina Jokowi di facebook. Padahal, sebelumnya ada anak keturunan Cina yang di video viralnya jelas-jelas menyebut Jokowi kacung dan akan membunuhnya. Tapi, polisi hanya menyebut kasus ini untuk lucu-lucuan.
Terlalu banyak kisah betapa tidak adilnya Polisi dalam hal penerapan hukum bagi kubu petahana dan opisisi. Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Habib Rizieq, Ahmad Dani dan lainnya dari kelompok oposan, langsung diambil tindakan. Beberapa di antaranya harus tinggal di balik jeruji besi. Tapi Viktor Laiskodat, Ade Armando, Permadi Arya, dan lainnya, tetap anteng, adem-ayem. Padahal, laporan atas polah mereka tidak kurang-kurang banyaknya.
Jadi, ketimbang sibuk berkali-kali menebar adegan dan foto pencitraan yang pasti tidak laku, jauh lebih baik Jokowi fokus memenuhi janji-janjinya saat kampanye Pilpres 2014. Warga netizen mencatat sedikitnya ada 66 janjinya yang hingga kini belum dipenuhi. Kalau 66 terlalu banyak dan berat, cobalah penuhi janji kampanye akan memuliakan petani, akan berhenti berutang, tidak akan bagi-bagi kursi dalam menyusun kabinet, dan Jaksa agung tidak akan dari Parpol.
Jika sebagian janji itu pun masih berat, sebagai Presiden cobalah Jokowi gunakan hak prerogatifnya untuk ‘menghukum’ Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang telah menyusahkan petani. Menteri kader Nasdem itu mengimpor produk pertanian dan pangan secara ugal-ugalan justru di saat panen raya.
Dengan seabrek fakta dan bukti kegagalan, masih adakah rakyat yang akan memilihnya untuk berkuasa satu periode lagi?
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior