Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
DALAM masyarakat tradisional-feodal penguasa seperti raja adalah pemilik tunggal semua tanah di wilayahnya.
Di masa VOC raja berhak menyerahkan tanah kepada siapa saja yang diinginkan, terutama kepada asing, sambil menjauhkan diri dari urusan produksi, namun tetap mengambil berbagai keuntungan dari penerima tanah.
Mindset seperti ini hari ini nampaknya masih diteruskan. Berakibat pada kerusakan lingkungan seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan saat ini, berupa banjir bandang, imbas eksplorasi pertambangan dan perkebunan sawit yang tak mempedulikan ekosistem.
Padahal dalam konsepsi kebudayaan Jawa seorang pemimpin adalah juga pemimpin alam, yang seharusnya berperan menjaga keselarasan, supaya tercapai “tatatentrem kertaraharja, gemahripah lohjinawi …” di dalam masyarakat yang dipimpinnya.
Krisis lingkungan sekarang terlanjur berkelindan dengan krisis ketidakadilan hukum, krisis sosial berupa pembelahan di masyarakat, krisis toleransi, krisis dalam hal penanganan Covid, dan juga krisis ekonomi yang semuanya berpangkal dari krisis kepercayaan, ialah ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola negara.
Akibat tidak adanya kapasitas dan keberpihakan yang kuat terhadap rakyat.
Dalam konteks ekonomi nasional, ekonom senior Dr Rizal Ramli misalnya memprediksi, ekonomi Indonesia di 2021 ini akan mengalami krisis yang jauh lebih serius dibanding tahun kemarin.
Rizal Ramli mengingatkan, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 5,5 persen di 2021 ini juga cuma angin sorga.

“Janji sorga tidak ada basisnya. Sebelum Covid, ekonomi tumbuh cuma 5, 1 persen. Sekarang Covid masih banyak, bagaimana bisa tumbuh 5,5 persen ?…” Rizal mempertanyakan.
Pembelahan yang terjadi di masyarakat akibat ketidakadilan di bidang hukum juga beriringan dengan daya beli masyarakat yang semakin hancur.
“Daya beli rakyat biasa betul-betul hancur. Karena tidak ada pekerjaan, gara-gara Covid dan lain sebagainya,” tandas Rizal.
Tidak terwujudnya target pertumbuhan ekonomi tersebut, menurutnya, lantaran likuiditas yang ada di masyarakat kini telah disedot.
Pemerintah saat ini sudah terlalu banyak berutang, sehingga primary balance negatif dan semakin besar dalam kurun waktu enam tahun belakangan ini.
“Artinya hanya untuk bayar bunga utang saja harus minjam. Makin lama makin berat. Karena harus minjam, harus menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) terus. Tambahan, makin lama makin besar,” papar Rizal.
Hal tersebut, lanjutnya, juga menyebabkan uang yang beredar di lembaga keuangan dan di masyarakat tersedot hanya untuk beli SUN.
“Karena tingkat bunga SUN 2% lebih tinggi dari deposito. Kalau taruh uang di SUN dijamin berapa triliun pun. Sementara, kalau taruh uang di bank paling dijamin hanya Rp2 miliar,” tandasnya.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak uang dan likuidas tersedot untuk membeli SUN. Sekaligus menjelaskan
mengapa pertumbuhan kredit bulan September dan Oktober 2020 negatif.
“Ini belum pernah terjadi sejak 1998. Artinya, boro-boro nambahin uang yang beredar dalam ekonomi, yang ada saja disedot. Kok bisa mengharapkan ekonomi akan bangkit, daya beli akan bangkit ? No way,” tegas Rizal.
Hal lain yang bikin runyam dan berbahaya buat rakyat adalah gaya kepemimpinan sandiwara. Sibuk bermain “drama” untuk sekedar menarik perhatian dan jadi tontonan belaka, tanpa substansi dan keberpihakan yang konkret kepada rakyat.
Kepemimpinan sandiwara yang mengedepankan “drama” esensinya adalah kebohongan.
“Sudahlah hentikan. Karena selama ini rakyat sudah muak,” tegas Rizal.
[***]