Catatan: Arief Gunawan, Wartawan Senior
MOCHTAR Lubis tahun ‘77 pernah mencari “siapa sebenarnya manusia Indonesia”.
Pidato kebudayaan Mochtar Lubis di TIM, 1977, dibukukan berjudul Manusia Indonesia Sebuah Pertanggungjawaban.
Ia melakukan otokritik terhadap watak lemah manusia Indonesia umumnya, yang disebutnya berciri hipokrit, ABS, dan suka mengatakan “bukan saya” untuk melempar tanggungjawab.
Ciri lainnya, menurut Mochtar, ialah berjiwa feodal.
Percaya takhayul, tapi berbakat artistik tinggi.
Otokritik ini mengundang banyak reaksi. Namun diakui kebenarannya karena dimaksudkan untuk self correction dan membangun mental positif bangsa.
Koentjoroningrat menyebut mental manusia Indonesia umumnya suka menerabas.
Yaitu nafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa proses usaha yang tekun.
Sehingga dimana-mana kini tumbuh pemimpin palsu. Para gadungan tanpa kompetensi, integritas, dan kemampuan problem solver.
Sukarno menolak olok-olok pembesar Belanda yang berkata bangsa kita bangsa yang paling lunak di dunia (Het Zachtmoedigste Volk ter Aarde).
Dengan mengatakan jangan mau disebut “bangsa tempe yang selalu dikira tidur ayam”.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli melihat suatu kontradiksi yang sedang melanda bangsa kita hari ini.
Bangsa besar ini menurutnya seharusnya mempunyai visi besar, namun kenyataannya sering terbentur oleh visi kecil, visi individu, dan visi kelompok, yaitu kepentingan yang sangat sempit, seperti kepentingan penguasa yang merangkap pengusaha (Peng-Peng), yang berakibat kerugian negara.
“Sehingga terkesan bangsa ini sekarang doyannya biar nggak bener yang penting damai. Biar ngaco tapi damai.”
Dan seperti yang diungkap pula oleh Bung Hatta:
Bangsa besar ini, di zaman besar dan abad besar ini, hanya lahir penguasa-penguasa kerdil yang mengkerdilkan bangsa sendiri.
[***]