Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
SAMPAI akhir hidupnya Sukarno tak pernah ke Belanda. Ratu tak mengakui Proklamasi 17 Agustus ‘45.
Sukarno dianggap pengacau, sehingga Ratu nggak sudi melayangkan undangan kenegaraan.
Cara paling sistematis merampas hak-hak rakyat memang dengan stigma buruk.
Para pembesar Belanda juga menanamkan kebencian kepada para pejuang dengan sebutan pengacau, ekstrimis, teroris, radikalis.
Stigma yang sama yang sekarang sering kita dengar.
Snouck Hurgronje memecahbelah Islam.
Kamuflase pakai gelar mengecoh:
Abd-Al Ghafar Al-Laydini, alias Abdi Sang Maha Pengasih dan Penyayang Dari Leiden.
Ia jadikan Orientalistik dan Indologi sebagai ilmu-bantu kolonial. Sebab kas Belanda bangkrut gara-gara Perang Aceh, Perang Jawa, Perang Padri, Perang Banjar, dan seterusnya.
Snouck Hurgronje suksesor fundrising kolonial yang memperlancar perampokan kekayaan alam Nusantara untuk memperkaya Nederland.
Kondisi seperti itu ternyata ada paralelisme historisnya dengan situasi hari ini.
Menurut tokoh nasional Dr Rizal Ramli, kekuasaan hari ini memainkan balon halusinasi, yaitu phobia terhadap Islam. Tujuannya untuk memperkuat cengkraman oligarki dan neo-otoriter.
“Phobia juga sebagai alat fundrising dari minoritas,” kata ekonom senior yang juga murid Gus Dur, tokoh pluralis yang menghormati toleransi beragama ini.
Rizal Ramli menggambarkan, di tengah pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi kini banyak orang bimbang dan galau.
“Pilihannya, pertama mendukung ketidakbecusan pemerintah, kinerja payah, ekonomi rusak, korupsi sistemik dan otoriter. Pilihan kedua, menggemakan Islam phobia yang sebenarnya hanya halusinasi dan tidak nyata,” tandas Rizal Ramli.
Ia menekankan, negara Pancasila tidak boleh phobia terhadap agama apapun.
Sikap phobia hanya akan jadi sumber perpecahan yang akan melupakan kita terhadap tujuan kemerdekaan, yaitu mencerdaskan bangsa, mewujudkan keadilan, dan memakmurkan rakyat.
Tokoh berpengalaman yang pernah memegang berbagai jabatan, mulai dari Menko dan posisi penting lainnya ini melukiskan pemerintahan saat ini ibarat orkestra.
“Banyak rencana-rencana, pemain-pemain dalam pemulihan krisis corona dan ekonomi, tapi tak ada dirigen yang kuat yang mampu menggabungkan semua instrumen menjadi musik harmonis dan indah. Yang ada musik heboh, tapi kacau,” papar Rizal Ramli.
[***]