KedaiPena.Com – Perlakuan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya masih terus terjadi. Salah satunya, sulitnya untuk mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan bagi etnis Rohingya.
Demikian laporan Amnesty International yang disampaikan peneliti, Elise Tillet saat berjumpa dengan Wakil Ketua Komisi I DPR-RI TB Hasanuddin di ruang tamu Komisi I DPR-RI, Kamis (23/11).
TB Hasanuddin mengatakan, Komisi I DPR-RI akan menindaklanjuti laporan Amnesty Internasional tersebut dengan memanggil Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Priansari Marsudi untuk mencari solusi bersama dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar.
“Kita akan evaluasi langkah-langkah yang sudah dilakukan Kementerian Luar Negeri dalam mengatasi persoalan yang dialami etnis Rohingya. Kalau upaya yang sudah dilakukan belum ada hasil yang maksimal, maka kita rumuskan lagi solusi untuk mengatasi hal itu,” kata TB Hasanuddin.
Apalagi, sambung TB Hasanuddin, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pernah melakukan pertemuan dan menyerahkan usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada konsulat negara Myanmar dalam misi diplomasi di Nay Pyi Taw, Myanmar, Senin (4/9).
“Jadi, kita harus tahu sejauh mana progres dari usulan yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri RI kepada otorita Myanmar dalam mengatasi persoalan etnis Rohingya,” tutur TB Hasanuddin.
TB Hasanuddin menambahkan, jika pemerintah Myanmar ternyata tidak konkret dalam menjalankan usulan pemerintah Indonesia, Komisi I DPR-RI akan melakukan pertemuan dengan parlemen di Myanmar untuk membahas masalah kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.
“Kalau perlu, nanti Komisi I DPR melakukan pertemuan dengan parlemen Myanmar,” tukas TB Hasanuddin.
Sebagai informasi, utusan dari Amnesty International, yakni, Elise Tillet dan Haeril Halim hari ini, Kamis (23/11) melaporkan perkembangan terakhir nasib etnis Rohingya di Myanmar kepada Komisi I DPR-RI yang diwakili TB Hasanuddin.
Dalam laporannya, Amnesty International menyebut bahwa pemerintah Myanmar masih membatasi etnis Rohingya untuk bepergian, mendatangi rumah sakit dan mendapatkan pendidikan. Tindakan pemerintah Myanmar digolongkan sebagai tindakan apartheid.
Akses pendidikan terhadap etnis Rohingya dibatasi sejak tahun 2012, dimana anak-anak Rohingya tidak diizinkan masuk sekolah negeri campuran di banyak wilayah Rakhine.
Ada sekitar 1,1 juta orang Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine. Mereka tidak diakui kewarganegaraannya dan dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meski sudah hidup beberapa generasi di Myanmar.
Diskriminasi meluas sebelum terjadinya kekerasan yang menyebabkan 600.000 warga Rohingya lari ke Bangladesh.
Terkait dengan itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pernah mengusulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada konsulat negara Myanmar dalam misi diplomasi di Nay Pyi Taw, Myanmar, Senin (4/9)
Adapun Formula 4+1 yang diusulkan untuk Rakhine State tediri dari empat elemen, yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State tanpa memandang suku dan agama, dan pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan.
Retno juga menyampaikan kepedulian dan komitmen tinggi lembaga swadaya masyarakat kemanusiaan Indonesia terhadap Myanmar. Dia mengatakan, baru saja meluncurkan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) pada tanggal 31 Agustus 2017.
AKIM terdiri dari 11 organisasi kemanusiaan, yang memprioritaskan bantuannya pada empat hal, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan relief. Adapun komitmen bantuan yang diberikan oleh aliansi adalah sebesar 2 juta dollar AS.
Laporan: Muhammad Hafidh