KedaiPena.Com – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 pemerintah bersifat menonton.
Hal tersebut, kata Heri sapaanya, lantaran distribusi APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 14,5% dari PDB.
“Target pertumbuhan ekonomi harus berbanding lurus dengan terbukanya lapangan kerja secara menyeluruh sehingga tingkat pengangguran berkurang,” ujar Heri kepada KedaiPena.Com, Kamis, (22/8/2019).
Heri pun meminta pemerintah juga perlu mengantisipasi adanya deviasi-deviasi dengan menciptakan bantalan fiskal yang proporsional.
Pemerintah, lanjut Heri, juga harus dapat memastikan bahwa RAPBN 2020 dikelola secara fokus, terarah, bisa tepat sasaran, dan manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Di mana kas keuangan negara bisa menjadi pendorong kegiatan ekonomi nasional,” jelas Heri.
Tidak hanya itu, Heri juga menyoroti,
tema APBN 2020 untuk akselerasi daya saing dan penguatan kualitas SDM, namun disatu sisi tindakan nyata pemerintah untuk mewujudkannya belum tergambar dari pokok-pokok kebijakan fiskal yang disampaikan pemerintah.
“APBN untuk akselerasi daya saing dan penguatan kualitas SDM baru sebatas angin segar, khawatirnya slogan ini hanya menjadi wacana semata tanpa tindakan nyata yang terukur dari pemerintah,” tegas Heri.
Heri menuturkan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum tepat sasaran. Dalam setiap 1% belanja kementarian/lembaga, diproyeksikan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%. Dengan kata lain, setiap peningkatan 11% berkontribusi 0,66% terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Pada kenyataannya, kenaikan 11% cuma punya andil pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24%. Berarti selisihnya yaitu 0,42% adalah belanja yang belum tepat sasaran belanja yang belum mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” beber Heri.
Menurut Heri definisi belanja tepat sasaran adalah belanja yang mempunyai efek di kemudian hari, atau belanja yang punya efek untuk ekonomi secara makro.
“Efek tersebut mencakup belanja yang berdampak pada pengurangan kemiskinan dan bisa mengurangi pengangguran, dalam gambaran besarnya adalah perihal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,” ungkap Heri.
Heri menegaskan pemerintah hendaknya juga tidak terlalu terpaku dengan kepentingan investor dalam berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Selama ini pemerintah telah memberikan banyak fasilitas untuk mendorong investasi dan berkembangnya dunia usaha.
“Pada sisi yang lain, upaya optimalisasi penerimaan negara harusnya diperlakukan sebagai bentuk simbiosis mutualisme dalam rangka memajukan perkonomian dan pembangunan nasional,” ungkap Heri.
Diketahui, Pemerintah menetapkan penerimaan negara di 2020 sebesar Rp 2.221,5 triliun. Angka itu terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.861,8 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 359,3 triliun dan penerimaan hibah Rp 0,5 triliun.
Untuk belanja negara ditetapkan sebesar Rp 2.528,8 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.670 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 858,8 triliun.
Dengan begitu defisit anggaran di 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu turun dibanding APBN 2019 yang defisitnya mencapai Rp 310,8 triliun.
Laporan: Muhammad Hafidh