KedaiPena.Com – Anggota Panja RUU Tembakau, Taufiqulhadi, mengatakan, RUU Tembakau yang sedang dibahas oleh Panja RUU Tembakau DPR RI adalah untuk melindungi sekaligus mensejahterakan petani tembakau.
Demikian dikatakan Taufiqulhadi dalam forum legislasi ‘RUU Tembakau’ bersama pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (26/07).
“Jadi, seluruh elemen masyarakat baik elit maupun petani tembakau harus berpikir rasional dengan RUU ini, sehingga akan ada kemitraan antara pengusaha rokok dan petani tembakau. Jangan sampai ada lagi impor tembakau dari luar, sedangkan tembakau kita di ekspor untuk industri rokok asing, untuk kemudian di jual lagi ke Indonesia,†kata Taufiqulhadi.
Anggota DPR RI Fraksi NasDem itu mengatakan, RUU tersebut tidak saja membicarakan soal kesehatan atau bahaya rokok, tapi juga untuk kedaulatan petani tembakau. Menurutnya, hanya importir rokok dan tembakau yang tidak menginginkan RUU ini disahkan. Apalagi menurut ia, ada serangan asing melalui koalisi anti rokok terkait RUU itu.
“Kalau mempunyai komitmen moral dan jati diri bangsa yang kuat, maka serangan dan intervensi asing itu tak akan merontokkan komitmen DPR RI maupun pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU ini menjadi UU. Jadi, kalau tidak akan di paripurnakan pada sidang ini, maka RUU ini akan disidangkan pada sidang berikutnya,†katanya.
Ichsanuddin Noorsy mengingatkan agar RUU yang akan disahkan itu dapat melindungi kedaulatan petani tembakau, dimulai dari hulu sampai ke hilir. Ia juga meminta agar RUU itu merangkum semua persoalan tembakau secara komprehensif, dan global.
“Tembakau bukan saja untuk industri rokok, melainkan juga untuk kertas uang, dan farmasi lainnya. Farmasi yang terbesar di dunia ini ternyata dikuasai oleh Amerika Serikat. Bukan Rusia maupun Eropa. Sehingga dalam dunia farmasi ini sudah memasuki babak perang dunia,†ungkapnya.
Menurut Noorsy, industri rokok justru dilihat oleh asing sebagai pintu masuk penggunaan narkoba, melalui nikotin yang bisa membuat seseorang ketagihan atau kecanduan. Dan, yang paling menikmati keuntungannya, lanjut Norrsy, adalah industri rokok, bukan petani tembakau.
“Jadi, RUU ini jangan hanya bicara soal rokok, melainkan harus makro kepentingan ekonomi yang besar. Apalagi asing sudah menguasai 58 % industri rokok di Indonesia. Itulah yang disebut sebagai modern selebery system, dan dengan UU ini Indonesia harus siap digugat oleh dunia internasional,†ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wisnu Brata mengatakan jika petani saat ini hampir frustrasi, pasalnya masalah tembakau tersebut sudah berlangsung lama, sementara Negara tidak pernah hadir. Menurut ia, kehadiran RUU itu seibarat pencerahan dan penebusan dosa bagi petani.
“Sejak tahun 1999 ketika Presiden BJ Habibie saat itu diatur melalui PP No.72/1999 yang mengatur soal TAR, tapi pada tahun 2000 sudah keluar rokok Mild, yang justru mematikan industri kecil, karena untuk Mild perlu investasi besar,†ungkapnya.
Ia menyebutkan, RUU itu diharapkan memberikan ruang besar penguasaan industri Rokok Nasional dari yang hanya sebesar 7% menjadi 58%. Jika itu tidak dilakukan, lanjut Wisnu, maka dikhawatirkan, 5 hingga 10 tahun ke depan, petani tembakau di berbagai daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan NTT akan tinggal kenangan.
“Dimana petani tembakau sudah tidak ada, namun rokok masih beredar luas di Indonesia. Nasib itu akan sama dengan kasus bawang merah, bawang putih, dan lain-lain,†katanya.
Kalau itu terjadi tambahnya, maka sama saja dengan menyaksikan terjadiinya imperialisme modern. “Karena itu APTI mendesak agar RUU ini segera disahkan menjadi UU. Hanya saja, kalau pelaksanaannya di tunda sampai 6 tahun kemudian, maka khawatir petani tembakau akan sekarat duluan,†kata Wisnu.
(Apit/ Dom)