KedaiPena.Com – Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) resmi menjadi Undang-Undang (UU) pada hari ini. Pengesahan RUU HPP tersebut diputuskan dalam rapat paripurna di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis, (7/10/2021).
Rapat paripurna itu sendiri dipimpin oleh Wakil Ketua DPR bidang ekonomi Muhaimin Iskandar, Awalnya, pria yang biasa disapa Cak Imini ini menanyakan soal disahkanya RUU HPP.
“Apakah RUU tentang HPP dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?,” kata Muhaimin dalam rapat.
“Setuju,” jawab anggota rapat paripurna.
Diketahui, dalam dari RUU tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengatur beberapa hal terkait perpajakan. Salah satunya program pengampunan pajak atau tax amensty jilid II mulai 1 Januari 2022 mendatang.
Dengan program tersebut, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan kepada negara.
Nantinya, setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang direktur jenderal pajak belum menemukan data atau informasi mengenai harta yang dimaksud.
Harta bersih yang dimaksud tersebut adalah nilai harta dikurangi dengan nilai utang. Hal itu seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Nantinya, harta bersih itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final.
PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Tarif itu terdiri dari 6 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi baru terbarukan (EBT), serta surat berharga negara (SBN).
Lalu, 8 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, 6 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan bahwa akan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN.
Sementara, 8 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia, tetapi tak diinvestasikan ke sektor SDA, EBT, dan SBN. Kemudian, 11 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tak dialihkan ke Indonesia.
Laporan: Muhammad Lutfi