KedaiPena.Com- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat realisasi pengeluaran hingga triwulan I-2021 mencapai Rp1,93 triliun atau sekitar 31,23 persen dari total pagu anggaran tahun 2021. OJK pun melakukan refocusing atas sejumlah anggaran yang berpotensi tidak dapat digunakan akibat dampak pandemi COVID-19.
Menanggapi usulan tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menilai revisi anggaran OJK harus diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan fungsi lembaga tersebut secara menyeluruh.
“Perubahan pagu anggaran ini harus dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan fundamental yang tengah dihadapi OJK. Misalnya, refocusing ini menyasar kepada fungsi pengawasan OJK maupun fungsi perlindungan konsumen. Perlu dipastikan juga apakah pos yang mendapat tambahan anggaran dapat berkontribusi terhadap pencapaian kenaikan target Indikator Kinerja Utama (IKU), misalnya,” ungkap Puteri dalam keterangan tertulis, Rabu, (31/3/2021).
Lebih lanjut, kata Puteri, OJK menyebut realisasi penerimaan pungutan tahun 2020 mencapai Rp6,219 triliun, atau lebih tnggi sekitar Rp11,6 miliar dari prognosa. Atas kelebihan tersebut, OJK meminta persetujuan Komisi XI DPR
RI untuk menggunakannya pada pos peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
“Usulan penggunaan surplus ini mengindikasikan OJK masih perlu memperkuat lagi sistem perencanaan
penganggarannya. Termasuk dalam hal penghitungan proyeksi penerimaan atas pungutan yang perlu lebih cermat dan akurat. Sehingga, penerimaan yang terkumpul dapat dialokasikan secara maksimal pada kegiatan-kegiatan strategis yang memang menjadi isu utama OJK,” tutur Puteri.
Puteri pun mendorong OJK untuk terus memperkuat fungsi perlindungan konsumen guna menciptakan ekosistem industri jasa keuangan yang stabil dan berdaya saing.
OJK sendiri telah membentuk Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK) yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan.
Pembentukan lembaga ini didasari POJK No. 61 tahun 2020 yang mencabut POJK No.1 Tahun 2014 tentang LAPS-SJK.
“Kami belum mendapat laporan langsung dari OJK terkait peran dan kinerja lembaga ini dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dan IJK. Terlebih mengingat berbagai kasus pada sektor perasuransian dan pasar modal saat ini tidak hanya dinilai merugikan konsumen, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat atas sektor jasa keuangan,” papar Puteri.
Puteri juga meminta OJK untuk melakukan pengawasan atas kegiatan LAPS-SJK ini, khususnya untuk
memastikan independensi dan akuntabilitas proses penyelesaian, serta efektivitas dalam menyelesaikan
sengketa industri jasa keuangan.
“Lembaga penyelesaian alternatif seharusnya menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan sengketa, baik
oleh perusahaan maupun oleh konsumen, karena putusannya yang lebih cepat dan murah dibanding
penyelesaian lewat pengadilan,” urai Puteri.
Puteri kembali mengingatkan OJK agar rencana pengembangan bank digital di Indonesia tidak menghilangkan
kesempatan kerja.
“Jangan sampai keberadaan bank digital ini malah menimbulkan pengangguran baru. Padahal kita tahu di tengah-tengah pandemi banyak sekali korban PHK terutama dari generasi yang baru memulai kerja seperti generasi saya,” tegas Puteri.
Menutup keterangannya, Puteri juga mengimbau OJK untuk meningkatkan edukasi dan sosialisasi terkait
produk jasa keuangan kepada masyarakat, khususnya bagi kalangan milenial.
“Investor milenial mulai mendominasi sebagai investor ritel di pasar modal. Tapi di satu sisi, investasi ilegal
pun kian marak. Saya khawatir hal tersebut akan mempengaruhi minat generasi milenial untuk berinvestasi.
Karena itu, OJK juga perlu menetapkan strategi program edukasi dan sosialiasi produk jasa keuangan bagi
kalangan ini,” tutup Puteri.
Laporan: Muhammad Hafidh