KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Fahri Hamzah mengajak DPR untuk lebih kritis menilai bagaimana teori cara membaca statistik yang benar. Hal ini sangat diperlukan, agar DPR tidak tertipu dengan statistik yang diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo.
“Saya kira pemerintahan Jokowi ini lebih kurang sensitif, daripada jaman Pak SBY dulu. Kalau Pak SBY itu sudah sadar tentang 40 persen itu, sehingga total kemiskinan di Indonesia, 100 juta itu sebenarnya lebih mendekati kebenaran, daripada menyebut di bawah dua digit,” kata Fahri dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Rabu (8/8/2018).
Lanjut Fahri, cara membaca statistik yang benar adalah dengan adanya indeks kerawanan dan indeks kedalaman (deep index). Indeks kerawanan itu menjelaskan bagaimana orang Indonesia ini sebenarnya merata di sekitar garis kemiskinan, yang gampang naik dan gampang turun, dan itu jumlahnya sekitar 100 juta orang.
“Nah yang kedua, deep index itu meninjau bagaimana orang Indonesia itu miskinnya, miskin banget. Sehingga keluar dari garis kemiskinan itu bukan suatu persoalan yang mudah. Jadi ada orang yang terjebak kemiskinan itu dari generasi ke generasi, tanpa tahu caranya bagaimana ke laur dari garis kemiskinan itu, dan itu terjadi di Indonesia,” sebutnya.
Karena itu, menurut Fahri harus ada kebaranian untuk mendobrak dengan membangun indiktor baru, supaya lebih jujur membaca keadaan masyarakat.
“Kalau pertanyaan, ya memang saya ingin menggugat banyak indikator lama. Tapi kalau pernyataan, ya memang tadi kalau fakta-faktanya menyebutkan bahwa cara kite melihat kemiskinan, bahwa cara kita melihat kesejahteraan itu sebenarnya ngawur itu. Misalnya, menggunakan Gross Domestic Bruto/GDB untuk (seolah-olah dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan itu) rakyat otomatis jadi lebih sejahtera. Bohong,” katanya.
Sebab dalam GDB itu, tambah Anggota DPR dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, yang dihitung adalah total dari barang dan jasa, tanpa menghitung pemanfaatannya, tanpa menghitung efeknya kepada manusia, tanpa menghitung apakah itu menghilangkan jarak dan ketimpangan?
“Misal ada orang asing datang ke desa-desa kita, membongkar tanah kita atas nama investasi. Dalam GDB itu sebagai progres, itu adalah elemen of growth. Tapi, faktanya ini merusak. Nah, kita harus punya statistik yang bisa memantau bahwa pengerusakan adalah pengerusakan, bukan sesuatu yang terus menerus diapresiasi,” cetusnya.
Kemudian yang kedua, lanjut Fahri adalah indikator kemiskinan. Konsumsi karbohidrat sebagai alasan untuk menghitung kemiskinan itu, sungguh kejam. Karena rakyat Indonesia dihitung dari mereka mengkonsumsi kalori 2100 kalori per kapita per hari.
“Itu baru kalori, bagaimana dengan yang lain? Sementara kebutuhan pokok manusia itu berkembang, dan pengeluarannya itu semakin banyak. Bagaimana kita menggunakan indikator yang dipakai seperti itu di abad sekarang ini?” tanya dia seraya meminta semua pihak untuk melihat secara lebih real agar kalau ada pemimpin baru harus mengumumkan yang sebenarnya.
Laporan: Muhammad Hafidh