KedaiPena. Com – Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, SE mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera merevisi tarif paket Indonesia Case Base Group (INA CBG’s).Â
Alasan Irma didasari terus terjadinya kasus pasien yang belum layak pulang, tetapi sudah disuruh pulang oleh rumah sakit karena alasan INA CBG’s.
“Atas dasar pelayanan kesehatan masyarakat sebagai mandat Konstitusi, pemerintah harus segera mencari solusinya,” kata Irma kepada K‎edaiPena.Com, di Jakarta, Minggu (9/10).
Irma pun menduga, pihak Rumah Sakit takut rugi karena paket INA CBG’s-nya sudah mendekati habis, sehingga pasien harus pulang dan baru dua tiga hari kemudian boleh masuk kembali dengan paket INA CBG’s yang baru. Ditegaskan Irma, regulasi yang seperti ini tentu sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa pasien.
“Mengharuskan pasien pulang dalam kondisi sakit adalah sebuah tindakan yang melanggar fungsi Rumah Sakit. Tidak hanya itu, menyuruh pasien membeli obat sendiri juga merupakan Fraud. Karena INA CBGs sudah mengcover biaya obat dan RS wajib melaksanakannya,” ujar Irma.
Wakil Ketua Fraksi Nasdem DPR itu menilai jika rumah sakit dengan logika untung rugi, tidak lagi memperdulikan adanya Pasal 2 UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mengamanatkan bahwa Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial, lalu dimana pelaksanaan nilai-nilai tersebut ketika pasien yag belum layak pulang tetapi sudah disuruh pulang?Â
“Simana nilai kemanusiaan dan keselamatan pasien jika rumah sakit hanya memikirkan untung rugi,” tanya Irma.
Seharusnya masalah Fraud ini juga menjadi kewenangan Badan Pengawas RS (BPRS). Pasal 56 UU no. 44/2009 menugaskan BPRS untuk melakukan pengawasan melindungi hak pasien di RS. Tapi hal ini pun juga seperti tidak pernah jalan.
Irma mengatakan Fraud yang terjadi di rumah sakit ada kaitannya dengan nilai paket INA CBGs yang diatur dalam Permenkes No. 59/2014. Irma pun mempertanyakan apakah memang INA CBG’s itu minim sehingga bisa membawa rumah sakit pada saldo negatif ketika harus terus merawat pasien JKN.
Hingga saat ini, sambung Irma, nilai paket INA CBG’s belum juga direvisi, walaupun sudah dua tahun ini inflasi di sektor kesehatan bisa mencapai 6-10%. Memang dalam Pasal 39 Perpres No. 19/2016 disebutkan besaran INA-CBG’s ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 tahun sekali oleh Menteri. Ini artinya Menteri Kesehatan bisa merevisi INA CBGs dalam waktu 3 tahun atau lebih.
“Walaupun ada ketentuan Pasal 39 tersebut, seharusnya dalam waktu dua tahun Menkes sudah merevisi paket INA CBG’s. Proses revisi harus mengacu pada Pasal 24 ayat 1 UU no. 40/2004 yaitu melibatkan asosiasi faskes antara lain asosiasi rumah sakit,” katanya.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Irma mendesak Kemenkes segera merevisi Permenkes no. 59/2014 dan lebih obyektif dalam menetapkan paket INA CBGs. Menurutnya, penentuan ini jangan dibayang-bayangi oleh ketakutan terjadinya defisit BPJS Kesehatan, tetapi harusnya lebih diutamakan kepada perbaikan pelayanan kesehatan peserta JKN di rumah sakit.
“Pelibatan asosiasi rumah sakit seharusnya membuat rumah sakit meningkatkan pelayanannya kepada peserta JKN tentunya dengan mengacu pada PKS yang dibuat dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang ada pada Pasal 2 UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit,” pungkasnya.‎
(Prw/Apit)‎