Artikel ini ditulis oleh Ahmad Nawardi, Anggota DPD RI.
Arus polemik soal penundaan pemilu terus berhembus dalam beberapa pekan terakhir. Utak-atik wacana ini menimbulkan gejolak yang begitu kuat, baik di tataran elite hingga akar rumput. Selain membuka celah terjadinya chaos politik, menunda pemilu bukan berarti secara otomatis memperpanjang masa jabatan presiden.
Perpanjangan masa jabatan presiden memang bukan hal yang baru. Di beberapa negara pernah ada dinamika yang serupa. Meski begitu, alih-alih mengatasi stagnasi ekonomi, yang terjadi justru krisis politik dan krisis konstitusi yang berujung pada bangkrutnya keuangan negara.
Fakta empiris bahwa memperpanjang masa jabatan presiden melahirkan kekacauan, krisis hingga kekerasan, ditemukan oleh Kofi Annan Fundation melalui studi berjudul Changing term limits: an electoral perspective (2016). Ada beberapa negara yang mengalami nasib seperti itu, seperti Kongo (2014), Burkina Faso (2014), dan Burundi (2015).
Temuan yang menarik dari studi tersebut yaitu ide memperpanjang masa jabatan presiden didasari klaim aspirasi publik. Tetapi, dalam praktiknya justru memunculkan polarisasi ekstrem karena kegagalan mempertahankan marwah demokrasi.
Secara normatif, menunda pemilu sebenarnya absah dilakukan jika mempunyai basis legitimasi hukum yang kuat. Undang-Undang Pemilu No.7/2017 Pasal 431 dan 432 menyebutkan, pemilu lanjutan diterapkan jika sebagian atau seluruh wilayah Indonesia tidak bisa dilaksanakan dengan adanya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan gangguan lainnya.
Tetapi, jika tidak didasari alasan demikian, menunda pemilu berarti menabrak regularitas pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia.
Skenario Amandemen
Melihat fakta pada studi Kofi Annan, memperpanjang masa jabatan presiden rasanya sulit direalisasikan. Pilpres 2019 telah memberi gambaran betapa panasnya tensi politik yang harus menguras banyak energi bangsa.
Polarisasi di tengah masyarakat begitu ekstrem sehingga mengancam bangunan perdamaian, ketentraman, dan persatuan bangsa ini.
Jejak polarisasi akibat sengitnya kontestasi politik pada Pilpres 2019 masih terasa hingga sekarang. Upaya melakukan konsolidasi dan menghapus jejak pembelahan tersebut tidak gampang.
Sebab, polarisasi kian menajam seiring dengan menyeruaknya berita bohong atau hoaks di jagat media sosial. Hal itu disinyalir berandil besar dalam memengaruhi persepsi masyarakat terhadap berbagai hal, terutama kebijakan pemerintah.
Memperpanjang masa jabatan presiden justru akan memperkeruh dan memberi peluang bagi lahirnya polarisasi yang lebih ekstrem. Karena itu, alternatif lain yang bisa ditempuh ialah skenario amandemen UUD 1945 dengan dua fokus utama: mengembalikan sistem pemilihan presiden yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan masa jabatan presiden tiga periode.
Alasan Krusial
Mengembalikan presiden sebagai mandataris MPR tentu menjadi alternatif tanpa meninggalkan esensi demokrasi. Wacana ini memiliki landasan yang kokoh. Selain karena pemilihan langsung one man one vote cenderung meninggalkan luka kultural karena ketegangan dan polarisasi di masyarakat, pemilihan presiden oleh MPR juga akan mengefesiensi keuangan negara.
Sehingga, ongkos pemilu yang terlalu besar bisa dialokasikan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah.
Alokasi anggaran dalam sistem pemilu langsung seperti sekarang memang cukup besar. Pada Pemilu 2019 saja, pemerintah mengalokasikan 25,59 triliun. Sementara jika tetap melaksanakan pemilihan langsung, Pemilu 2024 diperkirkan menghabiskan 76 triliun, sebagaimana usulan anggaran yang diajukan KPU kepada DPR.
Padahal, alokasi anggaran yang begitu besar tersebut bisa ditekan jika calon presiden dipilih oleh anggota MPR. Apalagi di tengah situasi bangsa Indonesia yang sedang mengalami stagnasi ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Sehingga, anggaran tersebut bisa dialihkan untuk percepatan pembangunan dan recovery pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, skema amandemen UUD NRI 1945 selain mendorong usulan hadirnya kembali pokok haluan negara (PPHN), juga untuk memetakan roadmap bagaimana MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Hal tersebut tentu juga sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila sebagai identitas kebangsaan kita. Sila ke-4 menyebut bahwa pengambilan keputusan mesti berdasarkan musyawarah mufakat dengan asas keterwakilan. MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD, betul-betul menjadi representasi keterwakilan rakyat.
Sebagai produk perundangan yang juga dibuat oleh manusia, tentu amandemen UUD NRI bukan hal tabu yang haram. Amandemen sangat mungkin dan absah dilakukan, baik melalui jalan formal dan informal. Amendemen formal berarti perubahan melalui ketentuan yang disediakan oleh konstitusi yang lazim disebut sebagai aturan amendemen (amendement rules).
Pasal 37 UUD 1945 menyediakan cara melakukan perubahan dari sisi kelembagaan, pengusulan, kuorum dan pengambilan keputusan. Menurut Pasal 37, amandemen dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari anggota MPR.
Dengan cara seperti itu, Pemilihan Presiden (Pilpres) tetap terselenggara pada 2024, tetapi dengan konsekuensi Pemilihan Legislatif (Pileg) mesti ditunda hingga 2027.
Alasannya, cost Pileg akan sangat membebani keuangan negara dalam APBN untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi dan pembangunan IKN. Selain itu, anggota MPR yang masih menjabat diperpanjang untuk memilih dan menentukan Presiden Republik Indonesia 2024-2029.
Selain itu, skenario amandemen untuk menambah masa jabatan presiden tiga periode tentu bukan hal yang mustahil. Pasalnya, berkaca pada sejarah, masa jabatan dua periode rupanya tidak cukup untuk menuntaskan program strategis yang telah disusun negara, seperti program pembangunan ekonomi, sosial, pendidikan, dan insfrastruktur.
Buktinya, dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum bisa menyelesaikan problem kemiskinan, ketahanan pangan, transportasi, dan insfrastruktur. Begitu pula, dua periode Presiden Joko Widodo diprediksi belum rampung menyelesaikan proyek IKN, jalan tol Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Pulau Jawa.
Pada akhirnya, amandemen UUD 1945 ini akan mampu mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat, baik yang pendukung atau oposisi pemerintah. Bahkan, Presiden Joko Widodo bisa mencalonkan diri kembali oleh MPR pada 2024.
Skema ini juga akan secara otomatis menghapus presidential threshold. Ketentuan ambang batas sebenarnya berpengaruh terhadap masa depan demokrasi, dan pada saat yang sama, berarti membiarkan suburnya politik oligarki.
Ambang batas hanya akan menghambat kesempatan masyarakat dan partai politik untuk menciptakan kapasitas dan kapabilitas pemimpin mumpuni. Berdasarkan sejumlah alasan krusial itulah, amandemen menjadi penting untuk masa depan Indonesia.
[***]