KedaiPena.Com – Rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa akibat adanya pembelahan serta polarisasi kelompok disebabkan oleh Undang-undang Pemilu yang memberikan ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold.
“Dalam dua kali pilpres, Indonesia hanya mampu memunculkan dua pasang calon head to head. Akibatnya terjadi polarisasi dan pembelahan di masyarakat yang sangat tajam dan sampai hari ini masih kita rasakan,” kata Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti dalam keterangan tertulis, Rabu (8/12/2021).
Saat ini, kata La Nyalla, sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Bahkan ruang-ruang dialog yang ada juga dibatasi.
Yang kemudian muncul adalah sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya.
“Semuanya sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar. Sebuah kemunduran bagi indeks demokrasi di Indonesia,” ujarnya.
Puncaknya, ditambahkan LaNyalla, secara tidak sadar anak bangsa membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Islam.
Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesa untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak ada satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.
“Itulah dampak buruk dari penerapan ambang batas pencalonan presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah,” imbuhnya.
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden itu sama sekali tidak ada dalam konstitusi Indonesia.
La Nyala mengeaskan, jika saat ini yang ada adalah aturan ambang batas keterpilihan dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.
“Ambang batas pencapresan atau presidential threshold membuat potensi bangsa ini menjadi kerdil. Padahal kita tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya dihalangi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya,” tegasnya.
Hal itu juga terjadi dalam partai politik. Mereka yang sejatinya melakukan kaderisasi untuk kemudian mengantarkan kader terbaiknya menjadi pemimpin nasional terhalangi. Terutama partai politik dengan perolehan suara yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan tersebut.
Padahal, jika kita lihat Pasal 6A Ayat (2) Konstitusi, sejatinya semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan capres dan cawapres.
“Sekali lagi karena terhalang aturan Undang-Undang Pemilu, sehingga terpaksa harus mengikuti kemauan partai politik besar untuk berkoalisi dan mendukung calon yang ditawarkan,” ujarnya.
Dijelaskannya, bahwa berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang wajar dan bisa dipahami. Namun menjadi jahat, ketika kongsi dilakukan dengan mendesain agar hanya ada dua pasang kandidat capres-cawapres. Hal ini benar-benar berlawanan, memecah bangsa dan membuat berseteru.
“Pertanyaannya adalah desain siapakah ini? Siapa yang berkepentingan, atau siapa yang mengambil keuntungan dengan ricuhnya bangsa ini? Siapa yang mengambil manfaat dari lemahnya persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa?” tanyanya.
Laporan: Sulistyawan