KedaiPena.com – Potensi kerusakan lingkungan pantai sangat besar jika di suatu titik dilakukan penambangan pasir. Mengingat, bukan hanya pasir saja yang akan terangkut dalam suatu tindak penambangan tapi juga ekosistem yang saling berkaitan di seputar penambangan pasir tersebut. Salah satu contohnya, di perairan pesisir timur Pulau Bangka.
Pengajar Prodi Hidrografi, Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL) Widodo Setiyo Pranowo menyatakan secara umum, karakter hidrodinamika arus permukaan laut di Perairan Pesisir Timur Pulau Bangka adalah dipengaruhi oleh angin monsun.
“Sehingga secara natural, pasir yang ada di dasar pesisir pantai memiliki probabilita akan bergerak secara sangat pelan mengikuti arus laut yang disebabkan oleh angin monsun juga. Tergantung dari ukuran butir pasir dan kepadatan pasir, maka pasir bisa bergeser, atau akan tetap disitu. Walaupun ada pergeseran pelan secara natural oleh arus monsun, bisa dikatakan sifatnya masih stabil. Berbeda kalau penambangan. Ada kondisi gangguan ekstrim terhadap keseimbangan atau kestabilan kondisi pasir laut. Ketika pasir diisap atau disedot, maka akan tercipta lubang di pasir di lokasi tersebut, yang kemudian kemungkinan besar pasir-pasir di sekitarnya akan mengisi ke lubang sedotan tersebut, sehingga menyebabkan pergerakan masif dan sangat cepat dari pasir tersebut,” kata Widodo, saat dihubungi, Minggu (6/3/2022).
Kondisi pasir yang tidak stabil ini, lanjutnya, akan mempengaruhi kondisi makhluk hidup yang selama ini bernaung dalam ekosistem pasir tersebut.
“Kita bicara tentang rusaknya lamun, telor-telor ikan atau kepiting atau udang atau kerang yang ada di pasir hingga binatang usia bayi hingga dewasa yang tersedot, atau tertimbun pasir. Ini artinya akan ada satu tahapan kehidupan yang menghilang,” ucapnya.
Tak hanya itu, Widodo menyatakan lamun atau seagrass yang seharusnya mampu menjadi penahan dari abrasi di dasar pesisir bisa jadi akan menghilang.
“Belum lagi kalau kita bicara potensi penyimpanan karbon yang didapatkan jika lamun tersebut dapat tumbuh dengan normal,” ucapnya lagi.
Hilangnya satu tahapan kehidupan ini, akan menyebabkan berkurangnya sumber makanan bagi ikan yang lebih besar. Yang akibatnya, akan mengakibatkan berkurangnya keberadaan ikan di area tersebut.
“Ditambah adanya kekeruhan air, ketika pasir disedot oleh kapal isap pasir, juga akan menyebabkan perpindahan ikan ke daerah yang lebih jernih yang umumnya semakin jauh dari pesisir. Akibatnya nelayan yang ada di daerah tersebut tentunya harus berpindah lebih jauh meninggalkan pesisir juga kan. Bagi nelayan kapal 1-2 GT (kapal kecil) kemungkinan akan menjadi masalah karena mereka akan dihadapkan oleh gelombang dan arus,” kata Widodo.
Akhirnya, secara jangka panjang, kerusakan lingkungan akan secara bertahap tapi pasti akan terjadi.
“Seharusnya ada penghitungan secara valuasi ekonomi, untuk melihat berapa biaya jasa lingkungan ekosistem perairan pesisir yang hilang dan juga biaya rehabilitasi atau recovery yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki wilayah ini. Menurut peraturan UNCLOS harusnya dihitung dalam jangka waktu 30 tahun kedepan, namun kemudian setelah perbaikan dilakukan maka harus dipantau atau dimonitoring dalam jangka waktu tertentu. Setiap wilayah laut berikut ekosistemnya memiliki keunikan masing-masing yang mungkin bisa lebih cepat atau lebih lambat recovery secara alami. Tapi ya selama ini tidak ada yang mau untuk menghitung sebagai baseline, baru dihitung oleh ahli ketika ada kejadian sengketa lingkungan atau sumberdaya perairan pesisir,” pungkasnya.
Laporan: Natasha