KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Nanang Djamaludin, menyebutkan bahwa upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia, yang terus dilakukan dalam waktu yang amat panjang, dari sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, memang telah menunjukkan hasil yang positif. Jika di awal kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945, diperkirakan penyandang buta aksara mencapai 95 persen, maka di tahun 2011 angka tersebut telah menjadi 8 persen.Â
‎
“Dan tiga tahun berikutnya, di tahun 2014 terjadi penjungkirbalikkan dari posisi awal jumlah buta aksara di awal berdirinya republik Indonesia tahun 1945, dimana jumlah penduduk yang melek aksara di Indonesia telah mencapai 96,30 persen, yang berarti menyisakan 3,70 persen dari penduduk Indonesia yang masih buta aksara,†paparnya lewat Siaran Pers JARANAN  dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional ke 51, pada  8 September 2016 .
‎
Namun menurut Nanang, keberhasilan menjadikan hampir seluruh rakyat Indonesia melek aksara itu seharusnya bukan berarti rakyat, terlebih anak usia sekolah, dihantarkan menjadi kenal hurup dan bisa membaca an sich. Sebab kemampuan membaca, dalam artian mengenal huruf dan bisa membaca, merupakan salah satu aspek saja dari cakupan basic literacy (literasi dasar) yang berhak dimiliki setiap orang, sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Praha 2003 tentang information literacy (literasi informasi).
‎
Kemampuan yang tercakup dalam literasi dasar itu, lanjutnya, terdiri dari empat pasangan kembar yang masing-masing pasangan itu tidak boleh dipisahkan semena-mena. Yakni speaking and listening (berbicara dan mendengar ), reading dan writing (menulis dan membaca), perceiving and drawing (memersepsi dan menggambar), counting and calculating (menghitung dan mengalkulasi).
‎
“Keempat pasangan kembar konsep literasi dasar itu secara bersama-sama harus mengisi seluruh ruang proses pembelajaran anak-anak kita sepanjang hayat. Tidak boleh keempat pasangan itu dititikberatkan pada satu-dua-tiga aspek saja. Keempat pasangan kembar itu harus menjadi laksana senyawa oksigen yang menyatu, yang dihirup oleh anak dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran yang diperolehnya di sekolah, di dalam keluarga, maupun di tengah masyarakat,†terangnya.
‎
Lebih jauh ia menyebutkan, penyebab rendahnya minat membaca buku masyarakat Indonesia, sebagaimana disebutkan oleh pelbagai survei, termasuk survey Unesco (2012) dan survey terbaru Perpustakaan Nasional di 12 provinsi dan 28 kabupaten (2015),  di tengah-tengah tingginya kemampuan masyarakat untuk membaca, setidaknya dilatari oleh dua “dosa besarâ€.
‎
Pertama, betapa dalam waktu yang sangat panjang, keempat pasangan kembar literasi dasar itu tidak diberikan secara utuh dalam sistim pendidikan dan proses pembelajaran terhadap anak-anak Indonesia, baik di sekolah. maupun di dalam keluarga.Â
‎
“Penitikberatan pada hanya satu-dua-tiga saja dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di dalam keluarga, misalnya, pada aspek membaca, menghitung dan mendengar saja, itulah yang diantaranya mengapa banyak anak-anak Indonesia yang sudah bisa membaca, tapi kenyataannya sama sekali tak punya minat untuk membaca buku, apalagi untuk menulis,†jelasnya.
 ‎
Kedua, tidak adanya sistim, metode, dan anggaran yang memadai, yang membuat mereka-mereka  yang sudah melek huruf, khususnya usia anak, kemudian dipandu, difasilitasi dan diakseskan kepada sebuah proses pembudayaan literasi dasar secara menyeluruh, baik oleh para guru, orangtua, dan para pengasuhnya.Â
‎
“Pembudayaan literasi dasar itu tentu saja melalui tahap-tahap tertentu, yakni pengajaran, lalu pembiasaan, terus dimotivasi agar konsisten dilakukan, berkembang menjadi kebiasaan, lalu menjadi karakter, sampai akhirnya menjadi budaya,†urai Nanang yang juga berprofesi sebagai konsultan parenting dan kota layak anak  itu.
‎
Terkait Hari Aksara Internasional (HAI) ke-51, pada 8 September 2016, bertema “Aksara untuk Pembangunan Lingkunganâ€, yang puncak acaranya akan dipusatkan di Provinsi Palu pada 20 Oktober 2016 nanti, Nanang menilai betapa gagahnya, sekaligus betapa beratnya tema yang diusung itu. Terlebih jika diperhadap-hadapkan dengan wajah sektor literasi kita yang masih terus belum menggembirakan. Bahkan, belum beranjak dari “tragedi†yang menghinggapinya.
‎
Tema itu, menurutnya, diusung Kemendikbud ditengah masih terus jebloknya minat baca masyarakat.  Di saat banyak toko-toko buku yang tutup di beberapa kota karena tak lagi dikunjungi pembeli. Sebagian lagi menghadapi fakta terus sepinya pengunjung dan pembeli. Di sisi lain, meskipun telah ada kebijakan tentang program membaca 15 menit sebelum pelajaran sekolah dimulai, namun kebanyakan sekolah yang ada di Indonesia tidak menerapkannya. Dan di sisi lain, masih banyaknya perpustakaan umum, perpustakaan daerah, dan perpustakaan sekolah yang dioperasikan dengan tetapvv menonjolkan pada kesan  ortodoknya yang sama sekali tidak mengasyikkan untuk dikunjungi.Â
‎
“Namun, bagaimanapun ikhtiar kita semua, dengan mencoba berbagai cara, untuk terus menerus memajukan sektor literasi harus tetap dilakukan. Dan momentum peringatan HAI tahun 2016 ini harus kita sambut dengan penuh suka cita dan kepala tegak, seiiring intropeksi dan pertobatan kita sebagai bangsa, terlebih pemerintah, atas dua dosa besar yang telah dilakukan terhadap sektor literasi kita tersebut,†tutupnya‎.
(Prw)‎