KedaiPena.Com- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong masyarakat melakukan judicial review pada pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu lantaran pasal tersebut berpotensi mengebiri masyarakat Jakarta setelah provinsi ini tidak lagi berstatus sebagai ibu kota NKRI.
“Ketika nanti Jakarta tidak lagi berstatus ibu kota negara seperti saat ini, imbasnya akan luar biasa, termasuk pada bidang perekonomian, karena meski pemerintah akan menjadikan Jakarta sebagai daerah khusus bisnis, tetapi ekonomi Jakarta tetap akan turun,” kata Anggota Komisi III DPR RI Santoso, Minggu (15/5/2022).
Eks Anggota DPRD DKI ini meyakini, ketika Ibu Kota di pindahkan ke Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur maka para elit yang selama ini menggerakkan perekonomian Jakarta, akan pindah ke sana.
Hal itu ia katakan, sebab Jakarta selama ini ibarat gula yang menarik orang untuk melakukan urbanisasi dan membuka usaha.
Tak hanya itu, Santoso juga menjelaskan, otonomi provinsi yang masih diterapkan pemerintah terhadap Jakarta sebagaimana tertuang dalam pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2022, akan menjadi beban bagi rakyat Jakarta. Karena bupati dan walikota tetap akan dipilih gubernur, sehingga bupati/walikota tidak punya kewenangan untuk mengelola sendiri wilayah yang dipimpinnya.
“Seharusnya dengan dicabutnya status IKN dari Jakarta, pemerintah melakukan akselerasi terhadap tata pemerintahan bagi Jakarta dengan mengembalikan status otonominya seperti status daerah khusus yang lain, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, di mana otonomi juga diberikan ke tingkat kabupaten dan kota, bukan pada provinsi, karena status otonom untuk tingkat provinsi hanya berlaku bagi daerah khusus ibu kota negara,” ujar Santoso.
Santoso meyakini, jika otonomi juga diberikan kepada tingkat kabupaten dan kota di Jakarta, maka pembangunan di provinsi ini akan lebih maksimal, sehingga semua persoalan yang selama ini dihadapi Jakarta, seperti macet dan banjir, bisa saja akan teratasi dengan lebih baik, karena bupati dan walikotanya dipilih melalui Pilkada, dan memiliki tanggung jawab langsung kepada rakyat.
“Kalau setelah Jakarta tidak menjadi ibu kota negara, tetapi sistem pemerintahannya tetap otonomi di tingkat pusat, maka sama saja pemerintah mengebiri warga Jakarta, karena di satu sisi status ibu kota negaranya dicabut, tetapi di sisi lain sistem pemerintahannya masih otonomi tingkat provinsi seperti sebuah provinsi dengan status ibu kota negara,” tutur Santoso.
Santono membeberkan, pada Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2022 menyatakan, sejak ditetapkannya Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1), ketentuan Pasal 3, Pasal 4 kecuali fungsi sebagai daerah otonom, dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39 ayat (1) yang dimaksud pasal 41 ayat (1) tersebut berbunyi; Kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara tetap berada di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sampai dengan tanggal ditetapkannya pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara dengan Keputusan Presiden.
Ketika ditanya apakah dia yakin judicial review pasal 41 ayat (1) UU IKN akan diterima MK? Santoso mengatakan optimis.
“Kalau mengajukan uji formil UU IKN dengan tujuan agar itu dibatalkan seperti yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), saya yakin ditolak karena pemerintah takkan mau membatalkan UU itu, tapi kalau yang di-JR pasalnya, saya yakin akan diterima,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi