KRISIS ekonomi global 2020 menerjang dunia. Hampir semua negara mengalami penurunan ekonomi cukup dalam. Krisis ekonomi 2020 ini jauh lebih buruk dari krisis finansial global 2007/2008.
Ekonomi Amerika Serikat turun 9,5 persen pada Q2/2020 dibandingkan Q2/2019, atau Year-on-Year (YoY). Singapore turun 13,2 persen (YoY), Jerman turun 11,7 persen (YoY), Inggris turun 21,7 persen (YoY). Dan Indonesia turun 5,32 persen (YoY).
Kejatuhan ekonomi ini tidak bisa dihindari. Karena hampir semua pemerintah di dunia memberlakukan lockdown atau karantina wilayah untuk memutus mata rantai penularan pandemi. Mengakibatkan perdagangan internasional menyusut 14,8 persen pada Q2/2020, YoY.
Menurut data UNWTO (United Nation World Tourism Organization), jumlah turis global turun 98 persen pada Mei 2020 dibandingkan Mei 2019 (YoY). Atau turun 56 persen selama periode Januari-Mei 2020 (YoY). Artinya, terjadi penurunan 300 juta turis, dan kehilangan 320 miliar dolar AS dari sektor pariwisata global, atau sekitar Rp 4.800 triliun.
Selain itu, lockdown maupun pembatasan sosial juga membuat konsumsi dalam negeri anjlok. PDB Indonesia (harga berlaku) pada Q2/2020 anjlok menjadi Rp 3.687,7 triliun, hampir sama dengan PDB pada Q2/2018 yang sebesar Rp 3.686,2 triliun. Berarti, ekonomi Indonesia mundur dua tahun. Dan turun Rp 284,7 triliun dibandingkan PDB Q2/2019.
Stimulus global secara masif tidak bisa menahan kejatuhan ekonomi dunia. Amerika Serikat memberi stimulus 13,2 persen dari PDB, Jerman 8,9 persen dari PDB, Singapore hampir 20 persen dari PDB. Tetapi ekonomi dunia tetap anjlok bagaikan roller coaster.
Karena, stimulus di masa pandemi lebih diutamakan untuk membantu rakyat, memberi subsidi gaji, bantuan likuiditas kepada perusahaan, dan sejenisnya. Meskipun defisit anggaran karena stimulus membesar, tetapi belanja barang dan modal sangat terbatas, dan turun, di masa pandemi ini.
Pengeluaran pemerintah dalam bentuk subsidi, bantuan tunai, bantuan sosial serta bantuan likuiditas kepada perusahaan tidak meningkatkan ekonomi. Karena menjadi pengurang pada PDB.
Kedua, bantuan yang diberikan kepada masyarakat tidak cukup mengkompensasikan kehilangan pendapatan masyarakat. Sedangkan bantuan likuiditas untuk perusahaan tidak produktif. Oleh karena itu, ekonomi tidak akan naik secara berarti.
Ketiga, kemampuan fiskal pemerintah Indonesia sangat lemah. Meskipun defisit anggaran naik tajam dari Rp 307,2 triliun (menurut APBN awal) menjadi lebih dari Rp 1.000 triliun pada APBN Perubahaan, tetapi belanja negara naik tidak signifikan.
Karena defisit anggaran yang membengkak ini sebenarnya akibat penerimaan negara turun tajam sebesar Rp 472,3 triliun: dari Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun. Sedangkan belanja negara pada APBN Perubahan hanya naik Rp 73,4 triliun saja.
Dibandingkan belanja negara 2019 yang sebesar Rp 2.310,2 triliun, total belanja negara 2020 pada APBN Perubahan hanya naik Rp 303,6 triliun. Kenaikan ini tidak signifikan dibandingkan penurunan permintaan (konsumsi masyarakat, investasi dan ekspor) yang bisa mencapai Rp 600 triliun sampai Rp 800 triliun akibat pandemi.
Selain itu, kenaikan belanja negara sebagian besar digunakan untuk memberi bantuan kepada masyarakat, UMKM, serta bantuan likuiditas kepada perusahaan. Yang semuanya menjadi pengurang di dalam PDB. Oleh karena itu, per saldo, belanja negara 2020 akan turun dibandingkan 2019. Seperti yang terjadi pada Q2/2020 di mana belanja negara turun menjadi Rp 319,6 triliun, dibandingkan Q2/2019 yang sebesar Rp 354,4 triliun.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya tidak menganggap remeh krisis ekonomi 2020 ini. Pemerintah sebaiknya fokus membantu masyarakat yang terdampak resesi, membantu keuangan masyarakat, pekerja sektor informal, petani, nelayan serta pedagang kecil yang sudah kehilangan pendapatan cukup besar.
Pemerintah sebaiknya jangan bermimpi meningkatkan ekonomi secara spektakuler. Jangan bermimpi menjadi ekonomi terbaik di dunia di masa pandemi ini, terlebih dengan mengabaikan keselamatan dan pendapatan rakyat.
Pemerintah sebaiknya jangan bangga dengan penurunan ekonomi yang sedikit lebih rendah dari negara-negara maju pada Q2/2020 ini. Karena negara lain secara sungguh-sungguh melindungi rakyatnya dari pandemi dengan melakukan lockdown secara ketat. Negara lain memberi bantuan keuangan yang memadai kepada rakyatnya agar mereka bisa taat dengan kebijakan lockdown tersebut sehingga efektif dalam menanggulangi pandemi.
Oleh Anthony Budiawan Political Economy and Policy Studies (PEPS)