DONALD Trump, kandidat presiden Amerika saat ini, selalu mempersoalkan agama lawan-lawan politiknya. Baik ke sesama calon presiden partainya sendiri, Republik, maupun kepada Hillary Clinton.Â
Misalnya dia meragukan agama Ted Cruz yang juga Evangelical seperti dirinya.Â
“Just remember this,” Trump said at the time. Â “In all fairness, to the best of my knowledge, not too many evangelicals come out of Cuba, OK?”
Dia juga menjelaskan kepada publik bahwa Romney berbeda dengannya, karena Romney seorang penganut Mormon. Begitu juga banyak ekploitasi perbedaan-perbedaan karena agama yang berbeda yang dieksploitasi Trump selama kampanye selama ini.Â
Akhirnya Trump mengungguli kandidat Republik lainnya untuk bertarung dengan Hillary Clinton, kandidat Demokrat.
Namun, secara teliti, kita tidak pernah melihat bahwa Trump mengatakan agama lawan-lawan politiknya adalah agama sesat, tipu dan buruk lainnya.Â
Trump hanya mengatakan bahwa agamanya Protestan Evangelical adalah ajaran yang dianut mayoritas rakyat Amerika dan dia ada di situ untuk mewakilinya.
Misalnya ketika Trump menyerang umat Islam dengan mengatakan akan menutup pintu Amerika bagi kedatangan imigran Muslim.Â
Trump sama sekali tidak menjelekkan Al Quran atau ayat ayat dalam Al Quran. Ummat Islam Amerika boleh sedih, tapi keyakinan mereka tidak diserang selama pemilu Amerika ini.
Di Jakarta, kita saat ini tersentak dengan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahok, kandidat Gubernur Pertahana.Â
Dalam video yang disebar netizen, Ahok mengatakan bahwa Al Quran, surah Al Maidah tentang keharusan memilih karena seiman adalah ayat tipu.Â
Dia menegaskan kepada rakyat yang dikunjunginya bahwa “program yang dia canangkan akan tetap jalan meskipun rakyat itu tidak memilihnya”.Â
Soal tipu ini terkait pernyataannya “karena tidak memilih karena ditipu surah Al Maidah”.‎
Suasana sudah semakin tidak terkendali saat ini. Polisi sepertinya enggan memproses laporan masyarakat soal penistaan agama.Â
Yusril Izha Mahendra mengeluarkan imbauan agar polisi memproses pengaduan masyarakat agar semuanya menjadi jelas.Â
Ustad Arifin Ilham mengutuk Ahok. MUI mengutuk Ahok. Ormas-ormas Islam semua panas.
Kejelasan urusan penistaan agama ini hanya bisa terbukti jika polisi merespon dengan cepat persoalan ini.Â
Jika tidak maka sebenarnya kita tidak akan pernah tahu kebenaran dan maksud tujuan Ahok mengatakan surat Al Maidah itu surat tipu menipu.
‎
Jika kita merujuk pada negara “bapak demokrasi” yakni Amerika, maka sudah jelas kepiawaian Trump dalam memainkan isu agama tidak menjadi penistaan agama.Â
Trump hanya menonjolkan kekristenan dirinya mewakili ikatan sosiologis bangsa mereka.Â
Setidaknya rakyat Amerika sejauh ini mengapresiasi Trump, sehingga dia lolos mewakili partai Republik dalam pertarungan Capres Amerika.
Ahok dan Salman Rusdhi‎
‎
Ayatollah Rohullah Khomeny pada tahun 1989 mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rusdhi harus dibunuh dimanapun berada karena telah menghina Al Quran.Â
Salman menghina Al Quran dalam bukunya “ayat ayat setan”. Pemerintah Iran akan memberi hadiah bagi yang berhasil membunuh Rusdhi.
Peristiwa ini menggemparkan dunia, karena buku “ayat ayat setan” diterbitkan di Inggris tahun1988 atas nama freedom.Â
Sementara Khomeny adalah pemimpin bangsa Iran. Namun, akhirnya sampai saat ini masalah agama menjadi persolan lintas negara.Â
Banyak kekerasan kekerasan di dunia terjadi seperti bom, penembakan dan serangan serangan lain dilakukan atas nama agama, khususnya Islam.
Lalau mengapa Ahok mengekspresikan kebencian terhadap Al Quran di negara yang mayoritas penduduknya Islam? Hal ini tentu perlu dicermati lebih lanjut.Â
Pertama, apakah Ahok berada dalam kondisi panik dengan beberapa survei yang menunjukkan elaktibilitasnya terjun bebas? Kedua, apakah Ahok memang mengembangkan perlawanan terhadap isu mayoritas vs minoritas dengan skenario penyerangan terhadap Islam dengan harapan seluruh minoritas “blocking vote” dibelakang dia? sebagai modal pasti suara dukungan? Atau Ketiga, apakah ini hanya kekhilafan biasa manusia?
Dalam hal pertama, memamg kita melihat bahwa ada korelasi terjun bebasnya dukungan terhadap Ahok terkait sentimen Agama dan Ras.Â
Namun, mencari alasan kepada kesalahan Islam dan orang-orang Islam adalah kesalahan besar. Bangsa ini belum sejauh Republik Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa kepada Salman Rusdhi, keradikalannya. Di sini mayoritas Islam Jawa yang tepo seliro alias tenggang rasa.
Orang-orang yang melawan Ahok pun selama setahun ini dalam proteksi wong cilik, Â diwakili secara utama oleh tokoh non muslim, seperti Rohaniawan Katolik Romo Sandyawan, tokoh masyarakat Tionghoa Jaya Suprana, Lien Siok Lan dan Lius Sungkarishma, pemuda Kristen Ferdinan Hutahaean, dan lain-lain.Â
Bahkan tokoh pemuda Tiong Hoa, Zeng Wei Jan dan Wawat Kurniawan menuduh Ahok yang selalu memainkan “playing the victim”, dalam isu rasial ini.
Sesungguhnya Ahok harus sadar bahwa beberapa menteri Jokowi ataupun kabinet sebelumnya yang berasal dari etnis Tionghoa maupun agama non muslim tidak menjadi isu bagi mayoritas ummat Islam.
Jadi, seandainya Ahok panik dengan melorotnya elaktibilitasnya dalam berbagai survey, harus dicari cara cara yang positif dalam merespon hal tersebut.
Kedua, jika Ahok melakukan strategi untuk memperkuat barisan kaum minoritas sebagai “blocking vote” untuknya, hal ini tentu akan lebih elegan jika Ahok mencontoh pikiran Max Weber, misalnya, yang mengetengahkan ajaran dia terhadap kemajuan sebuah bangsa. Bukan menjelekkan ayat suci sebuah agama.
Sebagai sebuah agama atau pun ras yang mewakili Ahok, jika dimunculkan keunggulan-keunggulan positifnya, nanti akan menyumbangkan banyaknya nilai-nilai positif bagi kita.
Ketiga, jika itu sebuah kekhilafan, tentu Ahok harus segera meminta maaf bagi ummat Islam. Jangan malah menjual kesombongannya sebagai penguasa yang penuh backing aparat.
Ummat Islam Indonesia tentu berbeda dengan Islam Iran yang bisa mengeluarkan Fatwa Bunuh, seperti kasus Salman Rusdie. Tapi bukan berarti ummat Islam Indonesia untuk menjaga kehormatannya tidak mengerti “harga sebuah peti mati”.‎
‎‎
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Syariah Serikat Pekerja (PPMI98)‎