SEBERAPA jauh kita bisa mengharapkan pemilu jurdil? Saya tidak mengharapkan pertanggungjawaban dari pemilih atau peserta pemilu (caleg, capres, partai) karena perilaku mereka tergantung kepada sikap ketiga pihak lainnya, yaitu penyelenggara pemilu ( KPU, Bawaslu, DKPP), pemerintah dan aparat hukum (kepolisian, kejaksaan), dan lembaga peradilan (pengadilan umum, mahkamah konstitusi).
Bila ketiga pihak yang saya sebutkan terakhir bersikap jujur dan adil maka pemilih dan peserta pemilu akan bersikap sebagaimana diharapkan.
Jadi kejujuran dan keadilan dituntut terutama dari penyelenggara pemilu, pemerintah dan aparat hukum dan lembaga peradilan. Apakah ketiga pihak tersebut saat ini telah berlaku jurdil?
KPU, Bawaslu dan DKPP saat ini jauh dari sikap jurdil, diantaranya karena:
1. KPU gagal memberikan jawaban atas temuan 17,5 juta DPT invalid. Angka ini tidak wajar, sebab semestinya tidak lebih dari 3 juta orang saja. BPN mencurigai bahwa nama-nama itu adalah ghost voters, yaitu pemilih yang ada namanya di DPT tetapi tidak ada orangnya. BPN kemudian menemukan bahwa terdapat 19.400 ghost TPS yaitu TPS yang hanya diisi oleh pemilih-pemilih yang dicurigai invalid.
2. KPU juga gagal memberikan penjelasan yang masuk akal atas banyaknya kesalahan terjadi di Situng KPU. Publik melihat bahwa Situng itu menjadi bagian dari operasi membangun opini publik yang memihak kepada salah satu calon.
3. Sementara itu, Bawaslu hampir tidak berbuat apa-apa atas banyaknya laporan kecurangan yang dilakukan kubu 01. Tidak ada penindakan kepada pelanggaran kepala-kepala daerah, politik uang, dan pelanggaran penghitungan suara yang meruyak dimana-mana.
Pemerintah dan aparat hukum telah jauh-jauh hari bersikap tidak seimbang dan tidak adil kepada para pendukung Prabowo. Mereka tidak ragu menghalangi, melarang bahkan menangkapi pendukung Prabowo.
Padahal Presiden seharusnya bukan cuma pemimpin eksekutif namun juga pemimpin moral. Namun sebagai petahana, Presiden Jokowi melanggar asas kepantasan (moral) mulai dari tidak mau cuti, membagikan bansos dan menaikkan gaji di masa kampanye, membiarkan pengawal-pengawalnya membagikan uang, menggunakan kendaraan negara untuk mengangkut perlengkapan kampanye, sampai dengan melakukan perjalanan kampanye terselubung.
Lalu, kepolisian dan intelijen secara terang-terangan menjadi bagian tim sukses yang melakukan kegiatan penggalangan bahkan kampanye.
Jadi bila kedua lembaga di atas gagal memberikan kejurdilan pada pemilu 2019, dapatkan kita mengharapkan kejurdilan dari lembaga peradilan? Saya meragukannya. Karena sistem peradilan pemilu kita secara prinsip membagi kerja untuk (a) peradilan umum memeriksa pelanggaran administrasi pemilu dan kecurangan, sementara untuk (b) Mahkamah Konstitusi bekerja untuk mengadili perihal hitung suara saja.
Padahal antara aspek pelanggaran administrasi dan kecurangan pemilu dengan hasil suara pasti ada hubungannya. Namun dengan sistem peradilan pemilu sekarang, keduanya tidak bisa dikaitkan.
Mahkamah Konstitusi memang mencoba mengatasi masalah di atas, yaitu dengan mengklasifikasikan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, masif dan sistematik (TMS). Kecurangan TMS bisa membuat seorang calon didiskualifikasi.
Namun ini jendela yang sangat sempit. Dalam banyak kasus MK tidak mau mengaitkan pelanggaran administratif dan kecurangan pemilu sebagai dasar dari adanya kecurangan TMS.
Padahal pemilu jurdil adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu jurdil. Sementara ini, perjuangan untuk pemilu jurdil telah berhadapan dengan sistem itu sendiri. Sebagai warganegara yang bertanggungjawab saya hanya bisa bilang, “Apakah bangsa ini ingin punya masa depan? Do it, or die!”
Oleh Radhar Tribaskoro, Juru Bicara BPN Jawa Barat