Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SEJARAWAN Belanda, Gerry Van Klinken, suatu hari mengeluh koleksi koran-koran nasional di Perpustakaan Nasional, Jakarta, ternyata sangat langka. Termasuk dokumentasi mengenai pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Selain jumlah koleksi yang sangat sedikit, arsip koran-koran yang ada kondisinya umumnya sudah sangat memprihatinkan dan banyak yang belum didigitalisasi.
Arsip suratkabar yang terbit pada masa lalu merupakan sumber tertulis yang sangat diperlukan. Karena itu di kalangan sejarawan berlaku ungkapan:
“When newspaper archives crumble, history dies. Ketika arsip surat kabar hancur, sejarah mati …”.
Salah satu kelangkaan terjadi pada dokumen mengenai pelaksanaan Pemilu 1955. Dokumen suratkabar mengenai pesta demokrasi yang disebut paling demokratis ini ternyata sangat minim. Sehingga memunculkan dugaan sengaja digelapkan oleh Orde Baru.
Apa sebab Pemilu 1955 yang diselenggarakan dalam keadaan serba terbatas dinilai berhasil ?
Karena animo masyarakat yang waktu itu baru 10 tahun merdeka terhadap demokrasi sedemikian tinggi.
Bagi para penyelenggara negara waktu itu Pemilu 1955 adalah perwujudan janji dari rencana semula yang akan dilaksanakan pada tahun 1946.
Pemilu 1955 adalah yang pertama dan terakhir di era Orde Lama, karena Pemilu 1959 yang juga dijanjikan gagal dilaksanakan.
Sukarno memberlakukan Dekrit, 5 Juli 1959, dan menjalani Demokrasi Terpimpin (sampai 1965) dengan membubarkan semua hasil Pemilu 1955.
Pemilu 1946 yang semula direncanakan ditunda karena pada tahun itu, hingga 1948, terjadi Agresi Militer I dan II yang dilakukan Belanda, selain belum tuntasnya persoalan-persoalan diplomasi, antara lain seperti KMB, 1949, yang menyangkut “penyerahan dan pengakuan kedaulatan”.
Esensi dari kejadian ini Indonesia ternyata memiliki catatan sejarah mengenai penundaan dan pembatalan Pemilu yang menghambat upaya percepatan pelaksanaan demokrasi.
Namun adanya wacana penundaan Pemilu 2024 saat ini tentu sangat jauh berbeda konteksnya dengan kisah di atas.
Skenario penundaan atau pembatalan Pemilu 2024 oleh penguasa istana saat ini lebih didasari oleh motif melanggar konstitusi. Di samping nafsu ingin membangun kerajaan keluarga dan mengawetkan kepentingan oligarki.
Kondisi lainnya ialah tidak adanya netralitas. Posisi MK kini tak ubahnya dengan Mahkamah Keluarga. Pada Pemilu 1955 meski ikut mencoblos polisi dan tentara bersikap netral.
Gejala penundaan Pemilu 2024 juga sudah terlihat dari KPU-nya yang terkesan sengaja dibiarkan bermasalah, selain sistem IT-nya yang harus dipertanyakan, karena berpotensi melakukan rekayasa kecurangan seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Partai-partai politik saat ini umumnya sangat transaksional dan berorientasi kepada uang, sehingga sangat mudah diajak kompromi untuk mengkhianati rakyat dan mendukung penundaan Pemilu.
Situasi ini sangat jauh berbeda dengan partai-partai politik peserta Pemilu 1955 yang memiliki ideologi dan garis perjuangan.
Yang terbaru, sebagaimana diberitakan oleh media massa, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya uang yang berasal dari sumber ilegal, berjumlah triliunan rupiah. Duit ini bakal menjadi sumber pembiayaan Pemilu 2024.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan hal ini seusai rapat dengan Komisi III DPR, Selasa, 14 Februari lalu.
Dia enggan menyebut jumlah pasti uang tersebut. Tapi menyatakan nominalnya mencapai triliunan rupiah.
“Jumlah agregatnya, ya kita nggak ada. Nggak bisa saya sampaikan di sini. Pokoknya besar, triliunan angkanya.” ujar Ivan Yustiavandana.
Kesimpulannya, jika Pemilu 1955 menyisakan bonae memoriae (ingatan baik), Pemilu 2019 menyisakan memoria passionis, yaitu ingatan buruk akibat peristiwa-peristiwa pahit dan lumuran darah di dalamnya.
Hal ini menyebabkan trauma dalam diri bangsa karena petualangan penguasa membela kepentingan oligarki demi mempertahankan presiden boneka.
Sementara Pemilu 2024 yang belum pasti terlaksana jauh-jauh hari telah menebarkan bau bangkai yang menyesakkan kemaslahatan rakyat untuk berdemokrasi.
[***]