KedaiPena.Com – Sejumlah kelompok sipil mendesak Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menghentikan kelanjuta pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait pulau palsu di teluk ibu kota.
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menyatakan demikian, menyusul rencana melanjutkan kembali proses pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTTKS Pantura).
Menurut mereka, pembahasan tersebut harus dihentikan, karena disusun tanpa melibatkan partisipasi masyarakat terdampak. Sehingga, bertentangan dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 141 ayat (2) Peraturan DPRD DKI Jakarta No. 1/2014 tentang Tata Tertib.
“Kedua, raperda disusun tanpa didasarkan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jabodetabekpunjur dan Rencana Zonasi Tata Ruang Laut Kawasan Strategis Wilayah Jabodetabekpunjur yang saat ini belum diselesaikan,” demikian bunyi keterangan pers yang diterima KedaiPena.Com di Jakarta, Senin (31/7).
Padahal, kajian oleh Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait Rencana Zonasi Jabodetabekpunjur menjadi pijakan utama bagi DKI untuk menyusun RZWP3K.
Penolakan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta juga didasarkan adanya dugaan kepentingan pengembang yang meraih izin untuk membangun pulau fiktif, tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat pesisir, nelayan tradisional, dan kepentingan umum.
“Berdasarkan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemanfaatan wilayah pesisir haruslah bertujuan untuk kepentingan masyarakat pesisir,” tegasnya.
Kedua raperda tersebut pun dianggap bertentangan dengan UU No. 7/2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Pasalnya, berpotensi menghilangkan wilayah tangkap dan kehidupan nelayan.
Kemudian, raperda disusun dengan cara-cara tidak terpuji melalui korupsi yang dilakukan bekas anggota DPRD Muhamad Sanusi dan diduga masih melibatkan banyak anggota dewan lainnya.
“Diantaranya Ketua DPRD DKI Jakarta yang didalam persidangan diduga terlibat dalam upaya lobby bersama pengembang reklamasi,” ungkapnya.
“Tindakan Ketua DPRD DKI Jakarta yang mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2017 patut dicurigai sebagai bentuk keberpihakan kepada pengembang properti dibandingkan kepentingan rakyat DKI Jakarta,” sambung Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dalam keterangannya.
Karenanya, mereka mempertanyakan sikap ketua DPRD yang hanya memfokuskan kepada kedua raperda ini dibanding raperda lainnya.
Bagi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, usaha penyusunan raperda ini sekaligus membuktikan, reklamasi adalah proyek ilegal. Soalnya, seharusnya disusun dan disahkan terlebih dahulu sebelum reklamasi dilakukan. Faktanya, justru sebaliknya.