KedaiPena.Com – Nasib malang  dialami oleh aktivis LSM asal Afrika Selatan, Gift of the Givers. Relawan asing ini diusir oleh pihak Badan Penangulangan Bencana Indonesia (BNPB) dari Palu, Sulawesi Tengah, saat sedang bertugas melakukan evakuasi.
Ahmed Bham selaku Ketua Gift of The Givers mengaku diusir oleh BNPB lantaran tenaga mereka sudah tidak dibutuhkan oleh Indonesia. Ahmed Bham sendiri mengetahui kabar tersebut ketika Indonesia melarang anggota Urban Search and Rescue Team (USAR) mengangkut jenazah korban di Palu.
Padahal Ahmed mengaku bahwa para relawan asing yang turun tangan untuk menangani bencana di Palu sering menangani bencana besar, namun baru sekali mereka mendapat perlakuan seperti ini.
Ahmed pun menyatakan bahwa relawan yang dikirim ke Indonesia bukan tanpa kualifikasi. Mereka memiliki kemampuan yang dapat membantu korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Kabar pengusiran ini sendiri turut mendapatkan perhatian dari media-media internasional. Banyak pihak yang menyayangkan tindakan pemerintah atas pengusiran relawan asing tersebut.
Meski demikian, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho memberikan penjelasan terkait pengusiran tersebut.
Sutopo mengungkapkan memang ada larangan bagi relawan asing untuk ikut terjun secara langsung dalam penanggulangan bencana di Sulawesi Tengah.
Sutopo menuturkan alasan larangan tersebut karena relawan asing memiliki kultur kerja yang berbeda dari Indonesia.
Tak hanya itu, Sutopo menegaskan, meskipun Pemerintah Indonesia menerima bantuan internasional untuk penanggulangan gempa dan tsunami Sulteng, bantuan tersebut sifatnya hanya suplemen, bukan instrumen utama penanggulangan.
Pengusiran para relawan asing dari Palu ini mendapatkan sorotan dari anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Rahayu menyayangkan sikap BNPB yang telah mengusir para relawan asing tersebut.
Menurut Rahayu pemerintah seharusnya mengapresiasikan relawan asing yang dengan luar biasa terjun langsung membantu korban bencana Palu.
“Ironis dan terlihat arogansi sikap pemerintah terhadap relawan asing, tapi disisi lain menerima dengan tangan terbuka bantuan barang dan finansial,” ujar Rahayu kepada KedaiPena.Com, Sabtu (13/10/2018).
Rahayu mengakui ada regulasi yang mengatur tentang keberadaan relawan asing di lokasi bencana. Namun Ia menilai pemerintah tidak konsisten menerapkan aturan tersebut di sejumlah lokasi bencana.
“Ya memang regulasi itu ada untuk keamanan relawan dan keamanan nasional, tapi selama ini regulasi tidak dijalankan konsisten dari Lombok sampai Palu. Belum lagi minimnya sosialisasi aturan itu yang membuat semuanya terlihat tidak jelas,” tegasnya.
Rahayu juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan transparansi dalam penyaluran bantuan barang maupun finansial.
“KPK perlu mengawasi dan mengawal penyaluran bantuan untuk menghindari penyimpangan. KPK pernah membuka kantor di Aceh saat bencana Aceh, dan hal yang sama perlu dilakukan di Palu,” ujar Rahayu.
Selaras dengan kabar pengusiran para relawan asing dari Palu, masyarakat Indonesia juga sempat dihebohkan oleh kabar bahwa Kementerian Sosial telah kehabisan dana untuk merealisasikan bantuan gempa Lombok.
Sebelumnya pemerintah juga tidak bisa menjaga situasi pasca terjadinya bencana di Sulawesi Tengah. Hal itu dapat terlihat dari adanya penjarahan yang dilakukan oleh korban terdampak gempa baik di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Jika ditarik semua masalah dalam penanganan bencana di Indonesia, Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatullah menilai bahwa masalahnya ada pada mitigasi risiko di Indonesia.
Poempida mengacu data risiko global bencana alam, bahwa gempa bumi dan tsunami sedianya menempati posisi no 2 untuk kemungkinan terjadinya setelah cuaca ekstrim di posisi pertama.
Sehingga secara natural, lanjut Poempida, ancaman risiko khususnya bencana gempa dan tsunami ini harus menjadi perhatian dalam konteks mitigasi risiko.
“Satu hal yang jelas jika bencana tersebut terjadi jelas tidak ada yang bisa mencegahnya. Oleh karena itu basis mitigasi risiko yang ada lebih diutamakan pada mitigasi jumlah korban, mitigasi jumlah kerusakan, mitigasi jumlah kerugian, mitigasi kendala distribusi bantuan, mitigasi kerusakan mental psikologi korban dan mitigasi terulangnya persoalan yang sama,” imbuh Poempida saat dihubungi.
Kemudian yang tidak kalah penting juga, imbuh Poempida, ialah bangunan-bangunan seperti rumah sakit dan sekolah wajib dibangun dengan struktur anti gempa dan di lokasi yang cukup aman dari ancaman tsunami.
“Karena rumah sakit dan sekolah dapat digunakan sebagai basis tanggap darurat dan penampungan yang tercepat. Sampai kemudian bantuan dari luar bisa masuk ke lokasi,” beber Poempida.
Khusus untuk kabar pengusiran para relawan asing dari Palu, Poempida mengungkapkan, bantuan dari pihak mana pun seharusnya dapat diterima.
“Karena tatanan yang ada sekarang di dalam konteks penanganan bencana masih berupa basis pemadam kebakaran (kuratif) dan bukan dalam konteks managemen risiko,” tandas Poempida.
Berdasarkan informasi Kementerian Luar Negeri ada 18 negara yang memberi bantuan fisik dan finansial untuk korban gempa Palu.
18 Negara yang sudah menyalurkan bantuan untuk korban Palu dan sekitarnya adalah Amerika Serikat, Perancis, Republik Ceko, Swiss, Norwegia, Hongaria, Turki, Australia, Korea Selatan, Arab Saudi, Qatar, New Zealand, Singapura, Thailand, Jepang, India, China, dan Uni Eropa.
Laporan: Muhammad Hafidh