KedaiPena.com – Membandingkan kinerja Pertamina dengan Petronas, dianggap sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo pada kampanye Pilpres 2014. Jangan sampai akibat ketidakefisienan Pertamina, masyarakat Indonesia harus menanggung biaya mahal dari BBM kualitas rendah.
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman menyatakan jangan melupakan janji kampanye Jokowi sebelum terpilih jadi presiden pada 2014.
“Jelas dikatakan bahwa jika terpilih jadi Presiden, Jokowi akan membesarkan Pertamina mengalahkan Petronas. Nah, janji itulah yang ditunggu realisasinya oleh publik,” kata Yusri saat dihubungi, Selasa (16/8/2022).
Ia menyatakan bahwa membandingkan harga BBM Indonesia dengan Malaysia, jauh lebih tepat dibandingkan dengan negara lainnya. Karena karakteristiknya hampir sama-sama sebagai net importir juga.
“Hanya Indonesia angka impor sudah sekitar 60 persen dari total konsumsi nasional, yang katanya hari ini sudah mencapai 1,5 juta barel per hari. Kalau Malaysia hanya sekitar 20 persen impornya,” urainya.
Dan, lanjutnya, yang membedakan juga adalah pola distribusi Pertamina yang jauh lebih rumit dari pada Malaysia. Karena sebagai negara kepulauan, pola distribusi Indonesia dinyatakan paling rumit di dunia, tidak bisa dibantah.
“Jadi soal beban biaya distribusi saja yang berbeda. Beban itupun selisihnya tidak terlalu signifikan terhadap harga keekonomian BBM. Yang signifikan adalah harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah serta biaya pengolahaan di kilang,” urainya lagi.
Yusri menegaskan, seharusnya dicari akar masalah penyebab harga keekonomian BBM Pertamina jauh lebih tinggi dibandingkan harga BBM Malaysia.
“Harus diketahui, selain ada komorbid atau penyakit bawaan Pertamina yang rentan terhadap posisi harga minyak mentah dunia, ternyata proses bisnis di Pertamina tidak efisien dari hulu ke hilir,” kata Yusri menjelaskan
Komorbidnya, antara lain adalah beberapa kontrak-kontrak LNG jangka panjang yang saat ini sudah disidik KPK dan pembelian Participating Interest (PI) blok migas di luar negeri yang dananya bersumber dari penjualan global bond Pertamina, yang katanya sudah mencapai 10 miliar Dollar Amerika.
“Selain itu, diduga terjadi juga proses ‘hengki pengki’ atas proses akuisisi PI tersebut, termasuk tidak efisiennya kilang kilang Pertamina, Biaya Pokok Produksinya (BPP) tinggi, mungkin akibat kilangnya sudah tua tua, proyek RDMP (Refinery Development Master Plan) tak ada duitnya,” ujarnya.
Tidak efisiennya proses bisnis Pertamina secara menyeluruh juga berimbas langsung ke masyarakat sangat dirugikan sebagai pengguna BBM, yaitu tidak bisa menikmati harga BBM murah dan berkualitas yaitu standar Euro4. Terbukti BBM Pertamina yang memenuhi standar Euro4 hanya jenis Pertamax Turbo dan Pertamina Dex, selebihnya standar Euro2.
“Jelas ini jadi penyebab buruknya kualitas udara di kota-kota besar Indonesia. Tentu yang menjadi korban adalah kesehatan masyarakat di pinggir jalan yang menghirup udara kotor itu bisa menimbulkan penyakit, padahal mereka bukan pengguna langsung BBM,” ujarnya lagi.
Yusri menyampaikan bahwa pada tahun 2018, menjelang berlangsung acara Asian Games di Jakarta, CERI pernah diundang khusus oleh Menteri LHK Siti Nurbaya untuk membahas dampak kualitas BBM Pertamina yang masih standard Euro2, yang menyebabkan kualitas udara buruk dan masyarakat penghirup udara di pinggir jalan bisa berpotensi terjangkit penyakit kanker.
“Saat pertemuan itu, Ibu Menteri LHK hanya didampingi oleh Dirjen Pencemaran Udara, Ir Karliansyah. Pada prinsipnya Ibu Menteri sangat kuatir terhadap kualitas BBM Pertamina berpotensi merusak kesehatan masyarakat, itu ada hasil penelitiannya,” kata Yusri.
Akibat sangat prihatinnya Ibu Menteri, lanjutnya, CERI disarankan menyampaikan surat resmi terkait hal tersebut kepada Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, agar menjadi perhatian serius Pemerintah.
“Tetapi faktanya proyek Upgrading Kilang Pertamina atau GRR (Gross Root Refenery) yang direncanakan bisa menghasilkan BBM kualitas Euro5 hingga saat ini molor semuanya, maka kualitas BBM kita memang menyedihkan,” tuturnya.
Ia menyebutkan jika dibandingkan BBM di Indonesia dengan Malaysia, periode 3 Agustus 2022 hingga 11 Agustus 2022, menunjukkan BBM Pertamina sangat mahal dan buruk kualitasnya.
“Data terakhir ini menunjukkan bahwa, harga jual BBM jenis RON 95 di Malaysia hanya RM2.05 atau Rp6.850 per liter, diesel RM2.15 atau Rp7.200 per liter, dengan nilai subsidi yang melekat adalah kedua RM2,05 per liter. Harga Gasoline RON 97 tanpa subsidi seharga RM4.55 atau Rp15.200 per liter, dengan perhitungan kurs per Ringgit Malaysia adalah Rp3.340,” tuturnya lagi.
Harga Gasoline Ron 97 berkualitas Euro 5 Malayasia tanpa subsidi ini, lanjutnya, jika dibandingkan dengan harga keekonomian Pertalite Rp17.200 saja tentu perbedaannya seperti bumi dengan langit, meskipun dijual Rp7.650 per liter di SPBU, karena disubsidi Pemerintah Rp9.500 per liter.
“Coba buka apa yang telah dikatakan Dirut Pertamina Nicke Widyawati di media Kompas, 11 Juli 2022. Bahwa PT Pertamina Patra Niaga terpaksa menjual Pertalite Rp7.650 per liter, seharusnya Rp17.200 per liter. Ini buktinya, BBM standar Euro2, tetapi jauh lebih mahal dari Gasoline Ron 97 standard Euro 5 di Malaysia, yaitu di harga Rp15.200 per liter,” kata Yusri.
Padahal, Gasoline 95 Malaysia sudah Euro4 dengan kandungan sulfur 50 ppm. Kualitasnya jauh di atas Pertamax 92 yang masih Euro2 dengan kandungan sulfur masih 500 ppm.
“Ini sangat menyedihkan,” imbuhnya.
Parahnya lagi, kata Yusri, setelah terbentuk holding dan subholding, sistem pembelian minyak mentah dan produk BBM kembali ke sistem sebelum ISC terbentuk pada September 2008 oleh Arie Soemarno. Jadi, proses pembelian minyak mentah, melalui ISC subholding PT Kilang Pertamina International dan pembelian produk melalui ISC (Integrated Supply Chain), yang sekarang di bawah Subholding PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN).
“Kedua fungsi ISC Subholding tersebut di bawah koordinator Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Holding, Mulyono,” kata Yusri.
Jika merujuk keterangan Corsec PT PPN Irto Ginting dan Pjs Corsec PT Kilang Pertamina International Mila Suciani yang dikonfirmasi oleh CERI pada Jumat (5/8/2022), rerata setiap hari PT PPN import gasoline sekitar 400.000 barel per hari dan PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) mengimport minyak mentah dari berbagai negara sejumlah sekitar 400.000 barel perhari.
“Karena PT KPI hanya menyerap produksi minyak mentah dalam negeri sekitar 563.000 barel perhari dari total produksi minyak mentah nasional saat ini hanya sekitar 616.000 barel perhari, meskipun ada janji angin sorga petinggi migas bisa mencapai 1 juta barel produksi minyak di tahun 2030.Tetapi Irto Ginting tak menjawab ketika kami kejar pertanyaan mana lebih murah jika PT PPN import produk BBM dari Singapura dibandingkan belanja dari PT Kilang Pertamina,” ucapnya tegas.
Menurut Yusri, diamnya Irto Ginting secara implisit bisa diartikan benar bahwa harga BBM produk kilang Pertamina lebih mahal.
“Bisa jadi kemahalan hasil produk kilang terpaksa harus dibeli oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Maka wajar jika cash flow PPN akhir-akhir ini berdarah-darah selama harga minyak dunia tinggi, tetapi ketika tidak diperkenankan menaikan harga jual BBM umumnya di SPBU,” ucapnya lagi.
Selain itu, CERI juga menemukan ada dugaan pengaturan tender pengadaan LPG 3 kg untuk kebutuhan jangka panjang 5 tahun.
“Kami duga diatur pada jelang hari lebaran tahun 2019. Bahkan sudah sempat kami laporkan ke petinggi KPK lewat pesan whastapp, tetapi entah mengapa tidak direspon?” ungkapnya.
Sebagai bukti lain soal tidak efisiennya kilang Pertamina, hal tersebut bahkan pernah diakui sendiri oleh Dwi Sutjipto kala menjabat sebagai Dirut Pertamina tahun 2016 silam. Bahkan saat itu, Pertamina telah mengirimkan minyak mentah milik Pertamina, dari Libya dan Irak (West Qurna 1) ke kilang milik Exxon di Singapura.
“Kebijakan itu menurut Dwi Sutjipto kala itu menghemat biaya pengolahan Pertamina mencapai hingga Rp132 miliar per bulan, jejak digitalnya ada. Bahkan, Ibu Nicke pada tahun 2020 di saat awal pandemi Covid19, ketika harga minyak mentah jatuh di bawah 20 Dollar Amerika per barel, harga produk BBM di luar negeri jauh lebih murah dari harga produk kilang Pertamina, sempat berucap, apa perlu kilang Pertamina dihentikan operasinya? Karena saat itu harga produk BBM sangat murah dibandingkan harga keekonomian BBM dari Kilang Pertamina,” ungkapnya lagi.
Artinya, kata Yusri, sistem pembelian ISC dan tidak efisiennya kilang, pola tunjuk langsung sesama anak usaha di balik topeng Sinergi Inkorporasi, kontrak jangka panjang LNG dan pembelian PI (Participating Interest) blok migas di luar negeri yang diduga penuh ‘hengki pengki’, merupakan komorbidnya Pertamina.
Terbukti, hasil produksi minyak Pertamina Hulu International dari 13 negara hanya 97.000 barel per hari. Tidak signifikan, dibandingkan dana Pertamina yang sudah digelontorkan sekitar 10 miliar Dollar Amerika.
“Sehingga Pertamina rentan, jika harga minyak mentah terlalu tinggi atau terlalu rendah melampaui batas psikologis BPP yang tidak efisien baik di hulu maupun di hilir. Jika Pertamina belum bisa efisien, wajarkah rakyat menanggung beban jika Pemerintah menyetujui Pertamina boleh menaikan harga BBM-nya? Dimana letak keadilan bagi semua rakyat Indonesia yang harusnya bisa menikmati harga BBM terjangkau dan berkualitas tidak merusak kesehatan masyarakat luas,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa