SURVEI Perbankan Bank Indonesia (BI) menyajikan bahwa responden tetap optimis terhadap pertumbuhan kredit untuk keseluruhan tahun 2019. Responden memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2019 akan mencapai kisaran 11,2 persen.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia yang dikutip di Jakarta, Rabu, 17 Juli 2019 menyebutkan, optimisme tersebut didorong oleh prakiraan relatif rendahnya risiko penyaluran kredit, serta masih terjaganya rasio kecukupan modal yang meningkat serta likuiditas yang cukup.
Kinerja kredit bank-bank mainstream pada kuartal I 2019 mengalami pertumbuhan. Bank Mandiri melaporkan penyaluran kredit pada kuartal I 2019 tumbuh 12,4 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 790,5 triliun.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan entitas anak pada kuartal I 2019 mencatat pertumbuhan portofolio kredit sebesar 13,2% year on year (YoY) menjadi Rp532 triliun.
Portofolio kredit PT. Bank BNI kuartal I 2019 mencapai 18,6% secara year on year (YoY). Diperkirakan perbankan masih akan melanjutkan ekspansi kredit di kuartal II 2019 ini mengejar angka 13%-15%.
Hal yang perlu diingatkan dalam ekspansi kredit maupun menghimpun dana adalah tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian bank (banking prudential principle).
Dari data kasus tindak pidana perbankan di lembaga peradilan memperlihatkan banyaknya terjadi dugaan tindak pidana atau fraud perbankan disebabkan pelanggaran terhadap banking prudential principle yang seharusnya menjadi rambu pengendali dalam agresifitas bank menjalankan kegiatan usahanya.
Fraud terjadi dalam penyaluran kredit maupun dalam pengumpulan dana. Berbagai hal yang menyebabkan terjadinya fraud perbankan di tengah agresifitas bank mengumpulkan dana maupun penyaluran kredit.
Penyebab fraud bank yang dimaksud antara lain:
1. Integritas pegawai bank.
2. Tuntutan utang.
3. Tuntutan target yang harus dicapai.
4. Kesadaran hukum pegawai bank.
5. Pemahaman terhadap banking prudential principle.
6. Pegawai pindahan (transfer employee).
Penyelesaian Hukum Kasus Perbankan
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, jika terjadi fraud perbankan baik yang dikategorikan pidana maupun perdata penyelesaian hukumnya adalah secara litigasi di pengadilan umum.
Sekalipun jika terjadi sengketa perdata antara nasabah dengan bank dapat dilakukan melalui mediasi perbankan, namun sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan hanya sengketa perdata yang menyangkut aspek transaksi keuangan setinggi-tingginya adalah Rp500 juta.
Padahal fraud perbankan menyangkut kasus puluhan miliar bahkan di atas Rp100 miliar, sehingga harus diselesaikan melalui litigasi di pengadilan umum.
Sayang, penyelesaian hukum melalui litigasi di pengadilan umum mempunyai beberapa kelemahan antara lain proses yang menelan waktu relatif lama.
Proses beracara di pengadilan (litigasi) harus mengikuti prosedur dan tahapan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk kasus dugaan tindak pidana perbankan dan HIR (hukum acara perdata) untuk sengketa perbankan.
Di lain pihak kasus atau sengketa perbankan perlu secepatnya ada keputusan mengingat dana atau asset yang menjadi pokok sengketa sangat dibutuhkan dalam perekonomian, khususnya dalam aktivitas perbankan.
Hal lain yang menjadi catatan adalah sangat terbatasnya spesialisasi dan kurangnya pelatihan jaksa, hakim dan advokat terkait fraud.
Kekhususan aktivitas dan hukum perbankan yang sangat spesifik dibanding hubungan lain yang masuk dalam kategori pidana umum. Kondisi yang ada di pengadilan negeri bahwa seorang hakim harus menangani segala macam perkara yang masuk ke pengadilan tersebut.
Hal ini mengakibatkan seorang hakim tidak mampu mendalami apalagi untuk menjadi spesialis di bidang hukum perbankan, padahal kasus perbankan sangat spesifik dibandingkan dengan kasus-kasus yang biasa dihadapi hakim. Kondisi demikian juga berlaku pada jaksa dan advokat atau penasihat hukum.
Beberapa hubungan hukum lain misalnya dalam hubungan hukum ketenagakerjaan terjadi sengketa ketenagakerjaan maka penyelesaiannya melalui pengadilan khusus yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
Demikian pula sengketa utang-piutang dan sengketa Hak Kekayaan Intelektual penyelesaiannya melalui pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga. Lalu dugaan tindak pidana korupsi diselesaikan melalui pengadilan tipikor.
Saran Pembentukan Pengadilan Khusus Perbankan
Dengan pendapat tersebut di atas disarankan agar ke depan untuk meningkatkan efektifitas penyelesaian hukum kasus pidana dan perdata perbankan agar dibentuk pengadilan khusus perbankan. Tujuannya agar dapat menghindari kelemahan di pengadilan umum.
Di negara lain (negara yang menganut sistem hukum common law/anglo saxon), masalah hukum yang spesifik diselesaikan melalui pengadilan khusus yang dinamakan Tribunal. Keputusan Pengadilan Tribunal bersifat final binding.
Final artinya terhadap keputusan tersebut tidak tersedia upaya hukum banding dan atau kasasi. Binding artinya keputusan tersebut bukan merupakan perjanjian, tetapi merupakan putusan yudisial sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk lembaga pemerintahan.
Pengadilan khusus perbankan misalnya terdapat di Pakistan yang sudah cukup lama beroperasi.
Pembentukan pengadilan khusus perbankan pada kondisi saat ini memang sulit di wujudkan mengingat UU Perbankan No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengatur adanya penyelesaian masalah perbankan melalui pengadilan khusus perbankan.
Namun demikian peluang untuk maksud tersebut sebenarnya sangat terbuka. DPR periode 2009-2014 telah membuat RUU Perbankan untuk menggantikan UU Perbankan yang sekarang, dan saat ini belum selesai.
Pada tahun 2015 RUU Perbankan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun sampai saat ini belum selesai.
Oleh karena itu ada peluang untuk memasukkan klausula mengenai Pengadilan Khusus Perbankan, jika pembahasan RUU tersebut dibuka kembali.
Oleh Arus Akbar Silondae, Dosen Perbanas Institute