KedaiPena.Com – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, bahwa ada tiga syarat pemakzulan pemimpin yang dimungkinkan dalam konteks politik Islam.
Mengutip pemikir Islam Al Mawardi, syarat pertama tidak adanya keadilan. Din berujar, berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Karena itu jika hal ini tidak terpenuhi, maka layak untuk diberhentikan.
“Ketika pemimpin tidak berlaku adil, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya, atau ada kesenjangan ekonomi,” kata Din dalam diskusi daring ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19′, Senin (1/6/2020).
Syarat kedua, lanjut Din, pemimpin bisa diberhentikan jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sama dengan saat pemimpin itu tidak memahami esensi Pancasila dan UUD 1945.
“Kalau ada pemberangusan diskusi, mimbar akademik, itu secara esensial bertentangan dengan nilai mencerdaskan kehidupan berbangsa’,” tuturnya.
Sedangkan syarat ketiga, pemimpin bisa dimakzulkan adalah ketika dia kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis.
Selain itu, ucap Din, Imam Al Ghazali pernah menyatakan setuju dan memungkinkan adanya pemakzulan jika ada ketidakadilan atau kezaliman.
“Terutama orientasi represif atau dictatorship,” tukasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Din Syamsuddin juga menegaskan, kebebasan berpendapat adalah hak manusiawi dan hak makhluk.
Din menjelaskannya dari perspektif Islam dan pemikiran politik Islam, kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan.
“Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman maupun tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan,” kata Din.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Din menyebut, manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.
“Ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abduh melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang sakral dan transendental,” tuturnya.
“Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas,” tambah Din.
Din menjelaskan, Abduh menilai kebebasan itu hanya bisa diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase kehidupannya.
Fase pertama adalah eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan. Kedua, fase sosial atau komunal, ketika manusia sudah berbudaya dan berperadaban.
Maka, lanjut Din, kebebasaan itu sesuatu yang tinggi. Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan.
“Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang, pihak, rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan,” paparnya.
Dari situ, menurut Din, para pemikir politik Islam kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal. Yakni kebebasan beragama, kebebasan berbicara serta kebebasan memilih dan dipilih.
Maka, kata Din, menyoal kebebasan berpendapat ini mempunyai landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam.
“Apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights sangat memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri,” ungkapnya.
Begitu juga dengan Undang-undang Dasar 1945, yang menurut Din, tokoh-tokoh yang merumuskannya sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan yang ada dalam Islam dan dalam sejarah pemikiran Islam.
“Oleh karena itu, kita cenderung terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti kebebasan berpendapat,” kata Din.
Din menegaskan, kebebasan berpendapat tentu dilandasi norma-norma, etika dan nilai yang disepakati.
“Selama berada dalam koridor dan lingkaran itu, maka itu adalah hak rakyat warga negara,” tukasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh