KedaiPena.Com– Aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan terkait diminta melindungi warga negara dari praktik nakal pinjaman online atau pinjol ilegal. Para pihak berwenang diminta tidak ragu mencabut izin pinjol nakal, termasuk menangkap dan menghukum pelakunya.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto saat merespon maraknya keberadaan pinjol atau pinjaman online.
“Jika masif kerusakannya, pelarangan pinjol bisa menjadi opsi bagi pemerintah melindungi warga negaranya,” tegas Didik, Kamis, (7/10/2021).
Pinjol nakal kerap bermain di tengah kesulitan masyarakat yang sedang bertahan hidup di tengah pandemi. Mereka seolah-olah memberi kemudahan mengakses pinjaman online, namun faktanya masyarakat justru terbebani dengan praktik yang menyimpang.
Salah satunya melakukan intimidasi dan pengancaman saat melakukan penagihan.
“Aparat penegak hukum harus menindak dengan tegas jika ada pihak-pihak yang melakukan intimidasi dan tindak pidana. Praktik intimidasi dan pengancaman seperti ini harus dihentikan,” tegas politisi Fraksi Partai Demokrat ini.
Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Didik meminta ada pengawasan intensif agar masyarakat tidak dirugikan. Jika ada yang melakukan pelanggaran, OJK diminta tak segan membekukan dan membubarkan pinjol. “Jika banyak menimbulkan kemudaratan, tidak usah ragu, bekukan dan bubarkan pinjol itu,” seru Didik.
Dia menyampaikan pernyataan tegas tersebut, sebagai respon dari kasus seorang ibu di Wonogiri, Jawa Tengah, berinisial WI, 38 yang tewas gantung diri, Sabtu (2/10) lalu. Korban mengakhiri hidupnya dengan cara tragis setelah tidak tahan terus menerus diteror debt collector pinjaman online.
Kasus terbaru dialami korban berinisial AN, 20, asal Jembrana. Korban berulangkali mendapat teror dari debt collector setelah meminjam Rp500 ribu, dan kini membengkak menjadi Rp70 juta.
Dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, Didik meminta pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil sikap dengan perkembangan pinjol yang memicu masalah serius di masyarakat.
Laporan: Muhammad Hafidh