SEMUA orang yang memperhatikan kehidupan kekuasaan di Indonesia rasanya selalu heran kenapa korupsi terus saja menjamur, atau ada program yang baik tapi implementasinya buruk, atau sering terjadi penyalahgunaan yang berlebihan.
Analisa yang dapat berkenaan dengan hal tersebut di atas adalah pertama dikarenakan minimnya pemahaman tentang kekuasaan itu sendiri. Secara umum seharusnya semua orang paham jika kekuasaan itu bersifat abstrak dan temporer.
Karena bagaimana pun kekuasaan itu ada batasnya bahkan tidak perlu mengacu kepada periode berkuasanya seseorang (umumnya 5 tahunan dan bisa 10 tahun maksimal jika berkuasa kembali), dengan sangat terbukanya sistem informasi dan telekomunikasi melalui media sosial, ini sudah memberi batasan tersendiri bagi sang penguasa.
Yang kedua adalah dikarenakan minimnya mekanisme pengawasan yang ada. Kalau pun sistem pengawasannya baik, anggaran pengawasannya dibuat minim. Jika kemudian sistem dan anggarannya sudah mumpuni, ada lagi masalah kualitas orang-orang yang mengawasi.
Banyak para eksekutif/penguasa pada dasarnya tidak mau diawasi. Hal ini dikarenakan membatasi ruang gerak mereka. Banyak dalih yang selalu diangkat mulai dari alasan mengganggu kinerja, adanya konflik kepentingan sampai tuduhan intervensi kepada para pengawas yang ada.
Menjadi pengawas adalah tugas yang tidak mudah. Karena jika ada masalah bukan saja si penguasa yang bertanggung jawab, namun juga si Pengawas akan mendapatkan getahnya juga, seakan tidak mampu mengawasi.
Pengawas yang benar secara profesional harus selalu menempatkan posisi ekstrim dan tidak kompromistis. Dengan demikian basis independensi nya selalu terjaga.
Pengawas harus selalu berorientasi pada basis tata kelola yang legal, good governance, akuntabilitas, dan keterbukaan kepada publik. Pengawas pun harus senantiasa dapat memastikan terjadinya penegakan hukum.
Tidak jalannya pengawasan inilah yang kemudian menjadi celah bagi siapa pun Penguasanya untuk memanfaatkan kekuasaannya yang secara umum berakhir buruk.
Secara religis, iman seorang manusia itu turun naik. Demikian juga moralnya, sangat dipengaruhi oleh proses kehidupan psikologisnya yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Keseimbangan dalam kekuasaan pun akan terjadi secara harmoni jika mekanisme “check and balance” terjadi dengan baik. Di sinilah peran para Pengawas jelas menjadi sentranya.
Paradigma berpikir tentang pengawasan ini seyogianya sudah harus menjadi agenda terdepan dalam gerakan Revolusi Mental.
Pengawas juga tidak terlepas menjadi obyek pengawasan lembaga lain yang mengawasi. Sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan hak dan wewenang si Pengawas tersebut.
Semoga paradigma berpikir ini dapat memberikan cara pandang baru bagi penerapan tata kelola Pemerintahan, Lembaga atau pun Organisasi secara baik.
Ingat “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
Oleh Dr. Poempida Hidayatulloh Djatiutomo