KedaiPena.com – Pembangunan kota modern berorientasi pada penciptaan suasana kota yang laik huni bagi warganya yang ditandai oleh udara segar, ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH), kemudahan akses seluruh wilayah kota tanpa diskriminasi bagi berbagai kelompok terutama kelompok rentan, opsi sarana mobilitas berierientasi pada rendah emisi, efisiensi energi dan ruang. Selain itu, ketika krisis iklim mengemuka dan masyarakat global gelisah yang kemudian berusaha mengendalikan penyebab krisis iklim ini.
Cara yang ditempuh adalah mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan kita sehari-hari, kegiatan industry dan kegaitan transportasi serta proses pembangunan, sehingga GRK yang mencakup karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC dapat ditekan. Sejalan dengan langkah itu, emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, NOx, O3, Sox) juga dapat dikendalikan sehingga kualitas udara perkotaan menjadi lebih sehat.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin menyatakan beban emisi DKI Jakarta dari transportasi mencapai 19.165 ton per hari, yang bersumber dari sepeda motor (45 persen), truk (20 persen), bus (13 persen), mobil diesel (6 persen), mobil bensin (16 persen), dan kendaraan roda tiga (0,23 persen).
Sementara beban CO2 mencapai 318.840 ton per hari yang bersumber dari truk (43 persen), bus (32 persen), sepeda motor (18 persen), mobil bensin (4 persen), mobil diesel (3 persen), dan tiga -roda (0,01 persen).
“Untuk itu, DKI Jakarta harus melakukan langkah progresif untuk melindungi warganya dari pencemaran udara yang sengat tidak sehat, sekaligus berkontribusi untuk pengendalian emisi GRK guna memitigasi krisis iklim,” kata Safrudin secara tertulis, Senin (17/4/2023).
Sehingga kebijakan yang ditempuh dengan membangun fasilitas angkutan umum masal (BRT Trans Jakarta dengan jaringan Jaklingko) dipadu dengan kebijakan Non Motorized Transport (NMT) yaitu fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda adalah cara tepat dan efektif dalam rangka menekan emisi sekaligus mengendalikan kemacetan yang mendera DKI Jakarta berpuluh tahun.
“Kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang telah dilaksanakan dalam 2 dekade cukup membuahkan hasil, di mana emisi GRK dan emisi pencemaran udara dapat ditekan dengan angka konstan sekalipun terjadi peningkatan akvitias industry, transportasi dan proses pembangunan,” ucapnya.
Namun sayangnya, jalan panjang menjadikan Ibukota DKI Jakarta sebagai kota laik huni, accessable dan rendah emisi harus hancur dalam satu malam akibat kebijakan Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono yang menghapus lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di perempatan Santa (Jalan Wolter Monginsidi, Jalan Suryo dan Jalan Wijaya).
“Pengembangan lajur sepeda di Jakarta adalah yang paling progresif di dunia saat ini, jadi seharusnya dipertahankan dan diperluas secara massif di seluruh wilayah kota. Apapun yang dilakukan DKI Jakarta akan menjadi benchmark bagi kota-kota lain tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Lajur sepeda selain sebagai penanda kemajuan peradaban kota, juga sangat efektif mengendalikan kemacetan dan emisi kendaraan,” tegas Fahmi Saimima, Ketua Umum Bike To Work Indonesia.
Laporan: Ranny Supusepa