Artikel ini ditulis oleh Ubedilah Badrun, analis politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
SAYA termenung sejenak, lalu berfikir apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Republik ini?
Ada apa di balik pembubaran ormas sampai sampai dibubarkan melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) enam pejabat negara (tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri)?
Secara sosiologis politik, FPI adalah entitas organisasi kemasyarakatan (ormas), sama dengan ormas lainya.
Memahami Ormas
Mungkin sudah pada lupa. Ada yang jadi Presiden karena tidak sedikit peran relawan (mirip ormas juga bukan?) yang pada tahun 2014 banyak melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat meski tidak memiliki legal standing (merujuk Mahfud MD bahwa yang tidak punya legal standing ya tidak legal).
Tahun 2014 banyak organisasi masyarakat berwujud relawan yang tidak memiliki legalitas. Kemudian berlanjut tahun 2019. Di balik relawan tidak sedikit yang terkoneksi dengsn buzzer atau kemungkinan besar ada juga buzzer dibiayai relawan. Jangan tanya siapa yang membiayai relawan?
Ribut antar relawan di media sosial masih kencang sampai hari ini. Tensi sosial masih tinggi. Siapa yang salah? Buzzer-nya atau yang membiayai? Atau relawannya? Atau ormasnya?
Mahfud MD mungkin juga lupa, dia bisa menjadi besar karena ormas, yaitu ormas Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa NU Mahfud MD tidak mungkin seperti saat ini, jadi pejabat. Tidak tangung-tanggung jabatanya Menteri Koordinator (Menko) Politik Hukum dan Keamanan.
Jika ditelusuri sesungguhnya, ormas telah memberi kontribusi besar dalam membangun negara karena banyak melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara atau sering kita melihat juga ormas membantu negara dalam situasi sulit, dari episode melawan penjajah, menghadapi bencana, hingga melawan Covid-19.
Sebab negara tidak cukup mampu bekerja atasi problem tanpa bantuan ormas. Silakan cek apa sumbangan NU saat Indonesia hadapi musibah? Silahkan cek sumbangan Muhammadiyah saat tingkat pendidikan Indonesia masih rendah?
Kalau mau nanya ini juga boleh, apa sumbangan ormas FPI saat Indonesia hadapi musibah? Dari musibah gempa, sunami sampai covid-19? Silahkan di cek.
Ormas secara natural adalah juga kanal dari kebutuhan sosiologis manusia yang tidak bisa dibendung. Apalagi dihilangkan secara paksa. Karena ormas melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial.
Ormas adalah hak sosial setiap manusia sekaligus setiap warga nega, karenanya UU No 16 tahun 2017 mewadahinya.
Menurut Undang-Undang tentang Ormas tersebut dalam pasal 1 disebutkan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demokrasi, Hak Berorganisasi dan Kesalahan Fatal
Itulah sebabnya negara wajib memberi kebebasan pada warga negara untuk beserikat berkumpul berorganisasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.
Para pendiri bangsa ini sejak kelahiran negara, secara progresif telah menetapkan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak berserikat berkumpul berorganisasi.
Melakukan represi terhadap ormas adalah kesalahan fatal. Bertentangan konstitusi UUD 1945 juga sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.
Bukankah demokrasi itu gagasan tentang kebebasan yang terbentuk melalui sejarah panjang. Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan, termasuk kebebasan berorganisasi.
Tentu Mahfuzd MD masih ingat tentang gagasan penting Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960).
Bahwa ada prinsip-prinsip demokrasi yang tidak boleh diganggu karena ia menjadi sebab mengapa suatu negara disebut mempraktekan sistem demokratis?
Di antaranya adalah mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman termasuk keanekaragaman organisasi masyarakat.
Keadilan Hukum dalam Perkara FPI
Selain itu negara wajib menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dalam perkara hukum hanya boleh diputus di pengadilan.
Pembubaran ormas itu perkara hukum dan hanya boleh diputuskan di meja pengadilan bukan di meja kekuasaan.
Bukankah ada putusan Mahkamah Konstitusi No: 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang didalamnya memuat argumen pembubaran ormas itu sepatutnya melalui pengadilan.
Ormas FPI bersalah atau tidak biarlah pengadilan yang akan memutuskan bukan penguasa.
Indonesia ini negara hukum yang menganut konsepsi Rechstaat(negara hukum) bukan machstaat (negara kekuasaan). Jika yang dipake adalah logika machstaat, ini kesalahan fatal dalam berdemokrasi.
Pemerintah Salah Fokus
Terlalu banyak kesalahan fatal republik ini jika diurai satu persatu. Pemerintah terlalu menyibukkan diri menghadapi FPI juga sudah kesalahan fatal sebab sesungguhnya masalah besar bangsa ini bukan FPI tetapi amburadulnya tata kelola hadapi Covid-19, korupsi yang merajalela, kemiskinan yang terus bertambah, ketidakadilan dan arogansi kekuasaan (neo otoritarianisme).
Salah fokus (salfok). Saking salfoknya sampai buat SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Mendagri, Menkumham, Menkominfo dan tiga pejabat negara setingkat menteri (Kepolisian, Kejaksaan dan BNPT) dibawah komando Menkopolkam Mahfuzd MD.
SKB Salah Fatal, Data Meragukan
Itupun SKB-nya salah fatal. Menyatakan FPI secara de jure bubar sejak 20 Juni 2019 padahal ada putusan MK yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT, silahkan cek pertimbangan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 angka [3.19.4]. Jadi SKB bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu juga ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Data-nya darimana?
Setelah saya cek kemungkinan besar datanya dari penelitian Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin Benny Mamoto. Sebagai informasi ternyata Benny Mamoto juga adalah Ketua Harian Kompolnas.
Dalam suatu rilis riset tersebut Beny Mamoto menyampaikan Dokumen yang berjudul ’37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatar Belakang FPI’. Kalau versi SKB ada 35 yang berlatar belakang FPI kok beda? Ada apa?.
Data riset tersebut patut dipertanyakan dari sisi metodologi karena tidak dikemukakan secara detail bagaimana data tersebut valid, tidak dijelaskan bagaimana triangulasi data dilakukan.
Beny Mamoto hanya menyebutkan bahwa Sumbernya dari laman pengadilan negeri dengan meneliti satu persatu putusan. Ini patut dipertanyakan metodologinya bagaimana nemastikan mereka anggota FPI atau beririsan dengan FPI?
Saya penasaran saya baca siapa saja 37 orang temuan risetnya lembaga pimpinan Beny Mamoto tersebut. Secara umum datanya masih perlu diuji.
Uniknya ternyata saya baca di data tersebut ada 10 orang yang dari 37 orang itu tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI, bagaimana mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI.
Sepuluh orang yang dimaksud adalah: (1) Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011, (2) Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014, (3) Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (Alm), ditangkap 1 April 2010, (4) Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012, (5) Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010, (6) Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010, (7) Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi ditangkap 29 September 2010.
Kemudian orang yang ke (8) adalah Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush’ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh, (9) Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012, dan (10) Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar. Selain yang 10 tersebut yang tidak disebutkan konektivitaanya dengan FPI, yang 27 lainya juga perlu dibuka, apa benar mereka semua anggota FPI?
Apakah benar mereka pengurus FPI? Anggota FPI? Terkoneksi FPI? Beririsan dengan FPI?
Keliru Metodologi
Sebagai akademisi saya memahami metodologi ilmiah karenanya patut bertanya tentang validitas data tersebut. Apalagi soal FPI ini sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana memastikan mereka terhubung dengan FPI?
Kalau hanya asumsi lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal. Betapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU (Nahdlotul Ulama).
Secara geneologi Aqidah, fiqih ibadah, tareqot dan tradisinya anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU, mazhab aqidah mereka As’ariyah, fiqih mereka Syafii, mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain-lain.
Lalu apakah bisa saya simpulkan bahwa FPI itu NU dan karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahanya fatal bukan?
Lebih fatal lagi nih Menkopolkam jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3 persen prajurit TNI yang terpapar radikalisme.
Itu artinya ada sekitar 12 ribu anggota TNI dari 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Kesimpulan yang fatal bukan?
Jika sebuah keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, saya khawatir akan makin membuat Indonesia berantakan.
Saya khawatir data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan, apalagi oleh Jokowi dan Mahfud MD. Loh kok Jokowi disebut? Yang jelas di atasnya Mahfud MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal mas Presiden?
Wallahu a’lam bishowab
[***]