KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan, kemesraan yang ditunjukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subinato yang diinisiasi atlet Pencak Silat Hanifan Yudani Kusumah, dalam pertandingan Asian Games 2018, adalah pemandangan yang bagus sekali.
“Langkah pesilat Hanifan yang memeluk Jokowi dan Prabowo itu sebagai momen yang damai,” kata Fahri saat dihubungi wartawan, Jumat (31/8/2018).
Bahkan, tambah Fahri, momen yang begitu mesra tersebut membuat banyak masyarakat yang tepukau, seolah-olah kedamaian dan persahabatan itu sesuatu yang mahal. Namun, ia mengingatkan agar terjebak seolah-olah tidak boleh nampak berbeda pendapat oleh pemerintah, tapi harus terus memeluk
“Itulah sebabnya, kita perlu mendudukkan dalam sesuatu pengertian. Sebab kalau tidak, kita bisa terjebak seolah-olah kita tidak boleh nampak berbeda pendapat oleh pemerintah. Dan, seolah-olah harus terus memeluk pemerintah, dan baru disebut baik. Seolah-olah kita tidak boleh menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan pemerintah, baru kemudian disebut cinta damai,” katanya.
Padahal, menurut politisi dari PKS itu, kritik dalam demokrasi kepada pemeritah khususnya, karena dia lah yang menjalankan amanah rakyat yang begitu besar, justru itu esensinya. Sebab, oposisi dalam negara berdemokrasi adalah suatu keniscayaan yang tidak boleh kita lupakan.
“Karena justru Indonesia ini menderita begitu panjang dan lama karena hilangnya tradisi kritik. Dijaman kolonial tidak ada kritik, akibatnya kita dijajah dalam tempo yang lama sampai kemudian kita lakukan perjuangan bersenjata. Kenapa bersenjata, karena Belanda tidak mau berdialog,” tuturnya.
Lanjut Fahri, dialog dan kritik dalam tradisi demokrasi adalah seuatu kewajiban dan suatu keniscayaan. Karena dalam demokrasi itu bisa saling menasihati, dan saling mengkritik.
“Tapi entah apa yang terjadi di pemerintahan, sehingga pak Jokowi itu kelihatan begitu santun, tetapi aparatnya begitu kelihatan ganas, melakukan persekusi terhadap orang yang sekedar memperjuangkan tulisan yang mengatakan #2019GantiPresiden,” ucapnya heran.
Oleh karena itu, tegas Fahri, kesadaran untuk menerima perbedaan justru adalah kekayaan Indonesia. Dan, kalau mengambil momen yang teakhir (fenomena pencak silat) itu, sangat dahsyat sekali karema justru pencak silat itu menjadi digdaya dan memberikan pestasi yang begitu besar bagi bangsa Indonesia.
“Ketika dia (pencak silat) berada di tangan oposisi, di tangan Prabowo yang kita tahu dia orang yang justru tidak sependapat dengan pemerintah, malah menjadi olahraga penyumbang medali emas terbayak,” katanya.
Prabowo, sebut Fahri adalah figur inti dari oposisi ini, dan orang yang tidak mau masuk kedalam pemerintahan. Tapi justru dengan posisi oposisi itu lah, Prabowo menunjukan ingin membuat lebih baik.
“Artinya apa, oposisi itu adalah pupuk bagi kesehatan, pertumbuhan dan kemajuan kita. Jadi, oposisi adalah warning kepada pemerintah agar mereka melakukan yang positif secara terus menerus. Sebab, jika pemerintah melakukan kesalahan sedikit saja, akan dikejar. Jangankan salah, benar pun pemerintah akan dikritik,” tutup politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emerus Sihombing mengatakan bahwa sedianya para politisi di Indoensia dapat meniru apa yang dilakukan altlet pencak silat Hanifan Yudani Kusuma
Apa yang dilakukan oleh Hanifan, lanjut Emrus begitu ia disapa, bisa menjadi role model untuk berbangsa dan bernegara.
“Sangat bisa menjadi role model bagi kita semua dalam berbangsa dan bernegara, utamanya bagi politisi kita yang acapkali melontarkan komunikasi politik yang menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan gesekan sosial di tingkat “akar-rumput,†ujar Emrus kepada KedaiPena.Com.
Dengan demikian, tegas Emrus, para politisi di Pilpres dan Pileg 2018 sejatinya lebih dahulu bercermin kepada perilaku yang sangat baik dari sosok generasi muda Indonesia.
Laporan: Muhammad Hafidh