BADAN Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal kedua minus 5,32%. Ekonomi Indonesia terjerembab lebih dalam, ketimbang proyeksi pemerintah yang memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh negatif pada kisaran -3,54 – -5,08, dengan titik tengah -4,3%.
Artinya, realisasi pertumbuhan ekonomi jauh lebih buruk dibandingkan dengan proyeksi pemerintah karena menjebol batas bawahnya.
Meski kondisi ekonomi terpuruk, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Indonesia belum terperosok ke jurang resesi karena pada kuartal pertama, ekonomi Indonesia masih tumbuh positif: 2,97%.
Sebuah perekonomian disebut masuk ke periode resesi jika dalam dua kuartal secara berturut-turut tumbuh negatif. Tapi, secara teknis, pertumbuhan -5,32% sudah tergolong resesi.
Di kuartal ketiga, ekonomi Indonesia tidak akan melaju pesat sehingga akan mencetak pertumbuhan positif karena konsumsi masyarakat, sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi makin loyo seiring dengan makin terpangkasnya daya beli sebagai dampak merebaknya virus Corona.
Pandemik Corona memang memukul telak perekonomian dunia. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Singapura sudah ambruk ke jurang resesi.
Belum ada tanda-tanda akan pulih dalam waktu dekat. Sulit dibayangkan, ekonomi AS akan berbalik positif di kuartal ketiga setelah terkapar minus 32% pada kuartal kedua.
Padahal, pemerintah AS terus memompakan daya beli hingga US$ 2 triliun untuk menghindar dari resesi. Belum terhitung dana yang digelontorkan The Fed, Bank Sentral AS, yang memborong obligasi korporasi tanpa batas.
Jika negara-negara maju saja sulit untuk membalikkan arah perekonomian dari negatif ke positif, padahal ditopang oleh dana yang amat gigantik, apalagi Indonesia, yang program penanganan dampak Pandemik Corona terkesan serba coba-coba.
Sebenarnya, kondisi ekonomi Indonesia sudah bermasalah sejak setahun setengah sebelum virus Corona meledak. Hal itu tampak dari defisit kembar yang makin melebar, yakni defisit transaksi berjalan dan defisit APBN.
Ekonomi Indonesia terkesan baik-baik saja karena defisit kembar itu didoping dengan utang luar negeri yang kian besar, lewat penerbitan obligasi global dengan yield yang lebih tinggi hingga 2% dibandingkan dengan obligasi yang diterbitkan Filipina atau Vietnam, yang credit rating-nya di bawah Indonesia.
Kelesuan ekonomi Indonesia sudah dirasakan oleh para pedagang elektronik di Glodok dan pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang.
Memang pesona Glodok sebagai pusat penjualan barang-barang elektronik kian pudar seiring dengan makin banyaknya konsumen yang beralih melakukan transaksi lewat toko-toko online.
Tapi, lesunya Glodok dan Tanah Abang tidak lepas dari fakta bahwa daya beli masyarakat makin merosot.
Pemerintah Jokowi terkesan lamban dalam mengantisipasi dampak Corona. Bahkan, ketika negara-negara lain sibuk menerapkan kebijakan lock down, yang cukup efektif dalam mengatasi lonjakan kasus Corona, para pejabat Indonesia yakin bahwa Corona tidak akan masuk ke Indonesia karena iklim tropika yang panas bisa melumpuhkan virus, hingga pernyataan menggelikan bahwa Indonesia kebal Corona karena ada doa qunut.
Angka kasus Corona di Indonesia belum ada tanda-tanda surut, kini sudah menembus angka 120 ribu lebih. Kurvanya masih menanjak, belum melandai sama sekali.
Jika angka terinfeksi Corona kian membesar, kemungkinan seperti itu sangat terbuka karena jumlah populasi yang dites masih di bawah satu juta.
Jika tes Corona dilakukan makin masif, angka yang terinfeksi Corona akan kian menggelembung. Perkiraan konservatif, angka kasus Corona di Indonesia akan berkisar 250 ribu-500 ribu. Sekali lagi jika jumlah tes Corona dilakukan lebih masif, katakanlah sampai 100 ribu tes per hari.
Nah, selama Corona belum bisa terkendali, jangan harap ekonomi Indonesia akan membaik di kuartal ketiga. Ancaman pertumbuhan ekonomi minus lagi di kuartal ketiga terbuka lebar.
Bagaimana mengatasi kesuraman dalam jangka pendek dan menengah yang sudah di depan mata? Perlu kebijakan terobosan. Langkah pertama, kendalikan Corona secara all out. Tanpa pengendalian Corona, sulit diharapkan roda ekonomi akan bergerak lebih cepat lagi
Sayangnya, di barisan kabinet Jokowi saat ini tidak ada seorang pun yang memiliki rekam jejak untuk membalikkan keadaan dari pertumbuhan ekonomi negatif menjadi positif.
Memang, ada menteri-menteri yang pernah merasakan dan menghadapi krisis ekonomi 2008. Tapi, sekali lagi, tidak ada yang berpengalaman melakukan turn around dari pertumbuhan negatif yang kini dihadapi.
Satu-satunya tokoh ekonomi yang berhasil membawa Indonesia keluar dari kondisi krisis adalah Rizal Ramli. Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur itu mendapatkan warisan pertumbuhan ekonomi minus 3% warisan Presiden Habibie di era krisis tahun 1998.
Di bawah pengelolaan Tim Ekonomi yang dipimpin Rizal Ramli, pertumbuhan ekonomi pada tahun 1999 menjadi 0,7%, atau melonjak 3,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 2000 pertumbuhannya naik lagi menjadi 4,9%.
Kebijakan ekonomi yang diracik doktor ekonomi lulusan Boston University itu bukan kebijakan konservatif neoliberal, melainkan kebijakan ekonomi konstitusi yang bertumpu pada kepentingan mayoritas rakyat, terutama rakyat miskin dan pengusaha gurem hingga pengusaha kelas menengah.
Di bawah Rizal Ramli, berbagai persoalan ekonomi yang pelik berhasil dipecahkan, mulai dari pembenahan Bulog, penyelamatan PLN dan Garuda Indonesia, hingga pengurangan utang luar negeri.
Lewat kebijakan terobosan yang out of the box, Rizal Ramli merenegosiasi utang luar negeri dari Jerman hingga bisa memotong utang US$ 600 juta hanya dengan menyediakan 300 ribu hektare lahan hutan untuk konservasi.
Pada saat krisis saat ini, Indonesia membutuhkan tokoh yang sekaliber Rizal Ramli. Dari total utang luar negeri sekitar US$ 400 miliar, 25% berupa utang bilateral/multilateral.
Nah, yang 25% inilah yang harus difokuskan untuk mendapatkan pemotongan utang lewat jalan negosiasi. Sedangkan utang mahal hasil penerbitan obligasi, harus bisa ditukar dengan utang yang suku bunganya lebih murah.
Indonesia memerlukan pemimpin yang berani melakukan kebijakan yang mendobrak kebijakan konvensional. Indonesia membutuhkan Rizal Ramli.
Oleh Didin Abidin Mas’ud, Alumni Fakultas Ekonomi Unpad