Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
ORANG Belanda waktu menjajah punya Gubernur Jenderal paling brutal dalam menggunakan Pasal-pasal Karet (Haatzaai Artikelen) yang ada di dalam Kitab Hukum Pidana Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) atau KUHP.
Gubernur Jenderal Cornelis De Jonge yang berkuasa 1931-1936, di akhir jabatannya mau melanjutkan periode kekuasaan Belanda di Indonesia dengan menyatakan keyakinan Belanda akan tetap menjajah 300 tahun lagi, berdasarkan rust en orde (ketenangan dan ketertiban).
Sehingga di sidang Volksraad, 1931, De Jonge berkata, akan menggunakan tangan besi untuk menghadapi para “penghasut”. Yang tak lain para tokoh pergerakan kemerdekaan.
Sejarawan John Ingleson di dalam bukunya “Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934”, melukiskan watak De Jonge sebagai:
“Seorang otoriter yang tak toleran dan tak punya waktu untuk mendengarkan kritik dari sebangsanya sendiri, apalagi dari orang Indonesia”.
De Jonge menggunakan pasal-pasal karet untuk memenjarakan Sukarno dan lainnya. Memperluas penggunaan kamp interniran Boven Digul, bukan hanya untuk tokoh-tokoh PKI dan para simpatisannya yang terlibat Pemberontakan 1926, tapi juga menjadikan tempat pengasingan bagi para tokoh pergerakan non-PKI, seperti Hatta dan Sutan Sjahrir.
Terhadap para pendiri sekolah-sekolah rakyat seperti Ki Hadjar Dewantara ia mengenakan pasal karet tentang tuduhan penyebaran kebencian. Melengkapi ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) yang diterbitkannya.
De Jonge menolak memberikan pengakuan kepada organisasi pergerakan nasional, membatasi hak untuk mengadakan pertemuan. Setiap pertemuan politik harus lebih dulu memberitahu pejabat setempat yang memiliki hak untuk melarang, yang harus disampaikan lima hari sebelumnya.
Partai politik secara ketat juga diawasi melalui Badan Intelijen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst).
Era otoriter De Jonge berbarengan dengan depresi ekonomi atau Malaise. De Jonge tak menginginkan Malaise yang berdampak pada kegagalan ekonomi Hindia Belanda dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan untuk menyulut partisipasi rakyat.
Ia memaksimalkan penggunaan pasal-pasal karet agar rakyat tak punya pemimpin, sehingga bagaikan “als een kuiken achtergelaten door zijn moeder”, atau anak ayam yang ditinggal oleh induknya.
Sejarawan John Ingleson di dalam bukunya lebih jauh menulis:
“De Jonge adalah seorang konservatif tulen yang bertekad tidak akan menolerir para tokoh pergerakan Indonesia yang menurutnya sok jago dan omong kosong”.
Apa motif De Jonge bersikap otoriter dengan menggunakan pasal-pasal karet?
Tak lain untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di masa sulit Malaise.
Dalam konteks hari ini pertanyaan mirip-mirip seperti itu juga dapat diajukan: apa motif pembahasan RUU KUHP yang di dalamnya tersimpan pula semangat untuk mempertahankan pasal-pasal karet?
Sesuai ketentuan konstitusi, durasi kekuasaan rezim hari ini kurang lebih hanya tinggal sekitar dua tahun, apa korelasinya dengan pembahasan RUU KUHP?
Apakah bagian dari skenario “pengamanan” perpanjangan masa jabatan presiden, untuk menindas sikap kritis kelompok-kelompok pro demokrasi dan pro konstitusi?
Atau seperti diungkapkan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun Twitter-nya baru-baru ini “mau lebih ganas dan otoriter dari zaman Orba?”.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden sudah menjadi persoalan laten, sehingga lumrah RUU KUHP juga dibaca publik sebagai bagian untuk memuluskan rencana perpanjangan tersebut.
Spirit De Jonge yang berwatak brutal dalam menjalankan hukum tampaknya mau diteruskan. Watak yang menunjukkan ketidaknalaran, karena menyeret mundur demokrasi.
Dalam bahasa Latin, Brutus, Brutto, Brutal, punya akar kata yang sama.
Brutusaum berarti kasar. Bodoh. Brutus-brutum berarti tak bisa bergerak. Menunjukkan watak yang tidak berubah. Tidak bergeser, keras kepala, dalam arti goblok.
[***]