Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Amerika Serikat (AS) memberi pesan kuat kepada dunia bahwa Asia Tenggara sangat penting bagi Amerika Serikat. Khususnya Singapura dan Vietnam yang “didaulat” sebagai negara sahabat yang sangat penting di Asia Tenggara.
Pesan ini terbaca jelas dari kunjungan Wakil Presiden AS, Kamala Harris, ke Asia (Tenggara) yang dimulai pada 20 Agustus 2021. Ia hanya mampir ke Singapura dan Vietnam.
Sedangkan Indonesia tidak dalam jadwal kunjungan Wapres AS Kamala Harris. Artinya, AS memberi pesan kuat bahwa Indonesia (dianggap) bukan negara “sekutu” dengan visi yang sama.
Indonesia dianggap tidak netral, dan lebih mengutamakan Cina, khususnya menyangkut hubungan ekonomi. Mungkin juga politik.
Indonesia bisa membatin, biar saja. ‘Go to hell’. Faktanya memang sudah seperti itu. Kebijakan ekonomi Indonesia saat ini secara terang-terangan lebih dekat, kalau tidak mau dikatakan lebih memihak, kepada China. Jadi, memang kenapa?
Kenapa? Tentu saja kenapa-napa. Karena ekonomi Indonesia akan tertekan.
AS dan Cina merupakan ekonomi nomor satu dan nomor dua terbesar dunia. Tetapi, kedua negara tersebut mempunyai kebijakan ekonomi yang sangat bertolak belakang.
Cina menguasai perdagangan dan produksi, menjadi pabrik semua negara di dunia. Cina ekspor ke seluruh dunia. Artinya, neraca perdagangan Cina selalu surplus. Sedangkan negara lain selalu defisit.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Cina juga defisit. Semakin lama semakin besar. Defisit pada 2002 hanya 3,4 miliar dolar AS. Kemudian defisit melonjak menjadi 17 miliar dolar AS pada 2019.
Neraca perdagangan Vietnam dengan Cina juga defisit, dan juga membesar. Neraca perdagangan Vietnam masih surplus 135 juta dolar AS pada 2000.
Tapi kemudian melonjak menjadi defisit 34 miliar dolar AS pada 2019. Memang luar biasa tingginya lonjakan defisit ini.
Di lain sisi, kebijakan ekonomi AS sangat beda. AS lebih banyak impor dari pada ekspor. Neraca perdagangan AS selalu defisit. Artinya, hampir semua negara lain mengalami surplus perdagangan dengan AS.
Neraca perdagangan Indonesia dengan AS surplus 3,9 miliar dolar AS pada 2000, dan naik menjadi 8,6 miliar dolar AS pada 2019. Kenaikan surplus ini memang sangat lambat, apalagi kalau dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan Vietnam-AS yang melonjak tajam sekali.
Yaitu dari surplus hanya 369 juta dolar AS pada 2000 menjadi surplus 46,9 miliar dolar AS pada 2019. Surplus ini masih naik lagi menjadi 63,4 miliar dolar AS pada 2020. Sebuah kenaikan surplus yang Luar biasa. Indonesia ketinggalan kereta.
Dengan kata lain, menjalin erat hubungan ekonomi dengan AS jauh lebih menguntungkan dari pada dengan Cina. Karena AS membeli, sedangkan Cina maunya menjual.
AS akan memberi kesejahteraan karena produksi kita akan meningkat, Cina menebar kesulitan karena produksi kita akan tertekan.
Bahkan Cina sendiri mengambil manfaat besar dari ekonomi AS. Defisit neraca perdagangan AS dengan Cina mencapai lebih dari 5,1 triliun dolar AS selama periode 2000 hingga 2020.
Selain itu, produk yang dijual ke AS adalah produk akhir untuk konsumsi. Artinya mempunyai nilai tambah tinggi. Sedangkan produk yang dijual ke Cina kebanyakan bahan mentah, komoditas atau barang setengah jadi.
Semua itu mempunyai nilai tambah rendah. Barang tersebut diolah di Cina menjadi produk akhir yang dijual ke berbagai negara termasuk kembali ke Indonesia.
Vietnam sangat jeli memilih kebijakan geopolitik ekonomi dengan menjalin hubungan ekonomi erat dengan AS, meskipun bertetangga dengan Cina. Vietnam sedang membuka jalur kesejahteraan bagi rakyatnya.
Ekonomi Vietnam akan semakin cepat maju. Dalam waktu tidak lama akan menyusul dan meninggalkan Indonesia. Karena Indonesia sedang sibuk menggali bencana ekonomi bagi rakyatnya.
[***]