KedaiPena.Com – Jika sebelum dua minggu dari sekarang, sebelum 18 November 2016, proses hukum yang murni, sekali lagi oleh  proses hukum yang murni, Ahok menjadi tersangka, akan redakah bola liar yang berpotensi menjadi kerusuhan nasional ini?
Inilah pertanyaan penting dan strategis paska ‘people power’ 4 November 2016. Aksi yang semula begitu damai, di malam hari berubah menjadi rusuh di sana sini. Isupun menjadi liar.
“Jawaban dari pertanyaan di atas ya, yes, positif,” kata Denny Januar Ali, atau biasa disapa Denny JA, pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) kepada KedaiPena.Com, Sabtu (5/11).
Pria kelahiran di Palembang, Sumatera Selatan ini menambahkan, ada empat alasan mengapa Ahok harus jadi tersangka, yang adalah keseimbangan yang paling damai, elegan, dan bisa diterima oleh semua pihak. Dan hasil itu sesuai pula dengan jargon hukum sebagai panglima.
“Pertama, pemerintah tak kehilangan muka. Jusuf Kalla selaku wakil pemerintah sudah berbicara yang disebar media. Kapolri berjanji menuntaskan kasus Ahok secara tegas dan cepat dalam waktu 2 minggu. Memori publik cepat mencatat, paling lama waktu yang ditunggu itu tanggal 18 November 2016,” sambung dia.
Dalam proses itu, dapat terlihat bahwa hukum murni yang bekerja. Dunia luar bisa diyakinkan bahwa Ahok menjadi tersangka bukan karena tuntutan massa. Toh dengan menjadi tersangka, Ahok belum tentu bersalah. Pengadilan yang nanti memutuskan.
“Wibawa Jokowi selaku presiden Indonesia juga bisa diselamatkan. Tak seperti yang dituduhkan bahwa Jokowi melindungi Ahok. Tak ada pula kartu AS Jokowi yang dipegang Ahok seperti yang dituduhkan. Toh, Ahok terbukti tersangka,” ia melanjutkan.
Kedua, Gerakan Bela Islam juga tak kehilangan muka. Gerakan ini berhasil menghimpun people power yang mungkin terbesar setelah reformasi. Gerakan ini disebut ‘people power’ karena banyak peserta yang swadana, membiayai kedatangannya sendiri. Banyak pula yang didanai oleh komunitasnya.
“Jumlah mereka yang berkumpul di Jakarta, ada yang menyebut mulai dari 150 ribu hingga 1 juta. Mereka menyuarakan hal yang sama: Hukum Ahok, Si Penista Agama. Itulah yang riil terjadi, terlepas kita setuju atau tidak dengan substansi tuntutan itu,” tandasnya.
Tentu gerakan ini dituntut oleh komunitasnya. Apa hasilnya? Apakah gerakan hanya menghasilkan berita saja? Tanpa ada hasil yang kongkret soal Ahok, secara ‘common sense’ saja pasti akan memicu gerakan yang lebih besar lagi. Massa membutuhkan keadilan hukum.
“Ini berbahaya buat negara. Apalagi api gerakan itu girah agama. Bisa jadi ada politisasi di sana sini. Namun siapapun yang sudah malang melintang dengan dunia gerakan, segera mengerti. Mustahil ada gerakan sebesar itu jika tak ada gerakan hati yang memang jujur dirasakan oleh pelakunya. Gerakan hati itu  girah agama,” Denny melanjutkan.
Ahok tersangka menjadi pencapaian minimal yang bisa memuaskan mereka. Jika ingin lebih dari itu, lebih mudah mereka diarahkan untuk menyerahkannya  ke pengadilan. Ahok tersangka bentuk paling kasat mata yang bisa meredakan gerakan.
“Ketiga, ini paling aman dan paling adil buat Ahok sendiri. Sudah menyebar aneka seruan jika hukum nasional tidak dijalankan secara cepat dan tegas, hukum agama yang akan bekerja. Meluas di social media ada yang bahkan menghadiahkan uang untuk hukum jalanan itu,” ia menambahkan.
Di satu lokasi ketika kampanye, Ahok bahkan diuber massa. Ia lalu diselamatkan lewat angkot. Siapa yang bisa menjamin, ke depan setelah 4 November hal itu tak kan terjadi lagi? Ini juga tak adil dan kasihan buat Ahok.
Dengan menjadi tersangka, toh Ahok belum tentu bersalah. Ia bisa membela diri di pengadilan. Namun status tersangka itu justru melindungi Ahok dari hukum jalanan dan hukum agama.
Dalam situasi seperti sekarang, para pendukung Ahok harus lebih terbuka mata. Kemarahan karena girah agama itu riel. Ini tak bisa dihadapi semata dengan mengajak berdebat soal tafsir. Biarlah nanti hakim yang memutuskan.
“Keempat, dengan Ahok tersangka, isu gerakan bisa dikontrol. Sudah mulai ada isu yang mengalihkannya untuk turunkan Jokowi. Kaum minoritas sudah pula khawatir peristiwa 98 terulang kembali. Saat ini etnik Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Ada pula yang mengarahkannya untuk gerakan kembali ke UUD 45,” jelas dia.
“Kita tak ingin people power ini menjadi liar. Semua harus “kembali ke laptop.” Akar masalahnya ada di Ahok. Kembali dan berakhir di Ahok saja. Inilah pilihan sulit bagi kita sebagai bangsa. Membawa Ahok selaku mantan gubernur ke ranah hukum karena menista agama memang bukan hal yang harum. Namun jika itu tak dilakukan cepat dan segera akan jauh lebih buruk lagi buat kita semua. Apalagi pasal yang potensial dilanggar memang ada: pasal 156 junto 156a KUHP,” tandas Denny.
Laporan: Muhammad Hafidh