ANEH saja rezim Jokowi terkesan panik menghadapi kegiatan oposisi dan penantang petahana.
Sengaja penulis bedakan antara kelompok “oposisi” dengan kelompok “penantang pertahana” dalam pilpres, karena tidak semua kelompok oposisi adalah pendukung dari kedua paslon capres.
Sama halnya dengan aksi 212 tidak semua peserta adalah anggota FPI, tetapi lebih banyak muslim yang terpanggil nuraninya karena penistaan agama oleh Ahok
Rezim ini panik dengan deklarasi #2019GantiPresiden yang membahana di mana-mana.
Rezim petahana mempunyai akses kekuasaan termasuk militer dan polisi. Lalu dana tak terbatas untuk memberi perintah kepada relawan, termasuk oknum Banser, para preman.
Konon mereka “diinstruksikan” secara formal untuk melakukan aksi tandingan dimana saja tempat melakukan deklarasi dan diskusi #2019GantiPresiden.
Apakah ini merupakan lanjutan dari pidato Jokowi di Sentul, pada pertemuan tim relawan, agar tidak takut melawan? Walahualam.
Namun pertentangan semakin menajam setelah pidato tersebut, para relawan Jokowi semakin nekat dan militan.
Bahkan dengan kekuatan tidak lebih 100 orang preman mereka lakukan pemblokiran bandara di seluruh kota tempa kegiatan #2019GantiPresiden. Alasannya menolak kegiatan adu domba dan menegakan khilafah.
Seperti yang kita saksikan di media aksi, penolakan walaupun dilakukan oleh segelintir orang, tapi mereka tidak segan melakukan kegiatan anarkis berupa pelemparan batu, dan memancing terjadinya bentrokan.
Di Surabaya oknum Banser mengusir dan mengajak keributan dalam masjid manakala, para peserta aksi #2019GantiPresiden melakukan shalat.
Kenyataan sekarang di lapangan terjadi pembungkaman demokrasi. Penanganan aksi #2019GantiPresiden dilakukan dengan cara tidak adil, yakni keberpihakan kepada salah satu paslon capres.
Ini merupakan pembungkaman hak demokrasi secara otoriter oleh penguasa, seperti yang disinyalir Rizal Ramli.
Sungguh disayangkan hal ini terjadi. Kekhawatiran yang muncul ke depan, akan terjadi bentrok horizontal antara rakyat dengan rakyat.
Ada baiknya Jokowi sebagai Presiden penanggung jawab tertinggi kondisi negara, mencegah dari sekarang.
Bukan dengan cara pembungkaman hak demokrasi, tapi justru menyerukan kepada relawannya supaya tidak melakukan kegiatan-kegiatan tandingan, apalagi secara anarkis memblokir bandara dan sebagainya.
Seharusnya para pihak yang sedang berkuasa tidak perlu kuatir karena dari awal sampai sekarang hasil survei, elektabilitas petahana tidak pernah terlewati oleh sang penantang.
Dalam kondisi ini semua pihak harus mengendalikan diri, termasuk pihak penantang kompetisi pilpres. Semua harus bertindak sebagai negarawan.
Karena jika terjadi amuk massa, ekonomi bangsa Indonesia akan semakin terpuruk, dibutuhkan waktu lama untuk menyehatkan kembali ekonomi Indonesia. Dan dengan demikian, kita akan semakin tertinggal dari negara tetangga.
Oleh Syafril Sjofyan, pengamat kebijakan publik, aktivis pergerakan 77-78