Artikel ini ditulis oleh Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina.
Wacana kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 mengemuka selama beberapa tahun terakhir ini. Wacana ini sehat dan bukan tanpa alasan dan bukan tanpa sebab. Demokasi langsung yang telah dijalankan empat kali pemilihan presiden memperlihatkan banyak ekses negatif karena perilaku politisi, yang melanggar aturan main, politik uang, praktek politik curang dan banyak lagi hal negatif lainnya. Indonesia berhasil menjalankan demokrasi langsung ini meskipun banyak kelemahan tetapi tampil di kancah internasional sebagai salam satu demokrasi tebesar di dunia. Namun Presiden tepilih Prabowo Subianto tercetus pernyataan dan perasaan bahwa demokrasi langsung ini melelahkan.
Wacana itu muncul, bahkan sejak lima tahun yang lalu dimana Prabowo Subianto mengemukan wacana ini. Tidak ada kelanjutan dan aksi secara politik, sampai pada akhirnya Gerindra juga membantah sebagai pihak yang menyuarakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Memang pernyataan yang baru ini sebagai bantahan dan terkait dengan pilkada yang sedang akan berlangsung tahun 2024 ini.
Demokrasi juga berkembang sesai konteks sosial ekonomi masyarakat, terutama tingkat pendidikan. Apa hubungan demokrasi dan pendidikan? Jawaban yang sederhana, semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi tuntutan terhadap demokrasi. Indonesia pada awalnya menganut sistem demokrasi perwakilan dimana para pendiri bangsa mempertimbangkan bahwa tingkat literasi melek huruf rakyat Indonesia tahun 1940-an jauh di bawah 10 persen. Lebih 90 persen penduduk tidak mengenyam pendidikan sehingga tidak paham betul apa demokrasi itu. Karenanya, demokrasi dengan sistem perwakilan adalah sistem yang tepat disajikan oleh pendiri bangsa pada waktu itu.
Para pendiri bangsa menempatkan demokrasi dalam sistem perwakilan karena rakyat yang melek huruf sangat sedikit. Majelis Perwakilan Rakyat, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan rakyat dan utusan golongan serta utusan daerah adalah penjelmaan rakyat secara keseluruhan yang memilin presiden, sebagai pemimpin tertinggi.
Sekarang keadaan sudah sangat jauh berbeda, tingkat literasi bangsa sudah 97 persen lalu mau kembali kepada undang-undang dasar 1945, apa argumennya? Reformasi 25 tahun yang lalu mengubah demokrasi menjadi sistem pemilihan langsung yang mengagetkan seluruh rakyat Indonesia karena banyak ekses negatif politik uang, konflik dan partai-partai yang seolah tidak siap menghadapi sistem seperti ini. Bahkan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, merasakan sistem seperti ini sangat melelahkan sehingga muncul kehendak beberapa pihak untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dimana rakyat mewakilkan kembali kedaulatannya kepada anggota MPR untuk kembali memilih Presiden.
Kini tingkat literasi rakyat sudah sangat tinggi, yakni mencapai 97 persen. Kondisi ini menjadi argumen untuk tidak kembali ke belakang karena alasan sangat liberal dan perilaku politik uang para politisi sudah semakin menggila. Jika di sistem jalan raya banyak pelanggaran dan semerawut jangan infrastruktur jalannya dibongkar diganti yang lain. Sistem baru yang menggantikan bisa jadi menjadi lebih buruk dan menghasilkan pemimpin tiran karena bisa mengendalikan lebih mudah para anggota DPR dan MPR yang memilih presiden. Pada saat ini pun presiden dapat dengan mudah mengendalikan pada anggota DPR melalui hanya beberapa pemimpin partainya.
Bagaimana pun tingkat pendidikan akan menentukan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama sisgtem demokrasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan literasi suatu bangsa, maka tuntutan terhadap demokrasi semakin meningkat. Memang demokrasi langsung terasa melelahkan, banyak ekses negatif yang menyertainya karena keterlibatan masyarakat yhang meluas, yakni hampir 200 juta pemilih.
Wacana akademis, dengan pikiran yang rasional dan argumen yang baik sangat diperlukan. Pemikiran presden terpilih juga bagian dari wacana sehat di dalamdemokasi bangsa ini. Namun demikian, memotong sistem pemilihan langsung tidak bisa dilakukan begitu saja karena kita menghadapi kendala-kendala dan ekses negatif yang cukup meluas. Justru usaha yang harus kita lakukan memperbaiki dua hal mendasar, yakni sistem dan aturan main yang baik dan tegas dan mengubah perilaku politisi dan rakyat yang memilihnya, terutama politik uang yang menjadi penyakit akut dari demokrasi ini.
[***]