MIRIS, kasihan bercampur rasa haru, ketika Selasa pagi 22 Maret 2016 menyaksikan ratusan pengemudi taksi ibukota, tumpah ruah dan berulah anarkis di kawasan ‘segitiga mas’, Jakarta. Mereka memprotes kehadiran taksi berbasis ‘On Line’ – dengan alasan, bisnis modern itu, mendatangkan kerugian besar bagi kehidupan mereka.
Protes mereka, benar. Sepanjang hal itu masih berada dalam lingkup kekhawatiran hilangnya kesempatan kerja atau berkurangnya penghasilan tetap. Tetapi protes mereka menjadi kontra produktif bagi profesi mereka sendiri dan protes itu tidak mengubah ke arah perbaikkan keadaan.
Malah protes para sopir taksi tersebut ikut ‘mempermalukan’ Indonesia sebagai sebuah negara besar. Berhubung protes mereka antara lain dipicu oleh ketidaktahuan seorang Menteri atas perkembangan dunia dalam bisnis digital dan teknologi informasi.
Siapa yang tidak kasian, kalau pada akhirnya setelah lelah dan berteriak-teriak di jalan, di bawah sinaran terik matahari menyengat, mereka hanya menjadi pendemo yang dimarjinalkan. Seusai protes, mereka pulang ke rumah tanpa membawa uang untuk keluarga mereka.
Mereka merugi. Sementara para bos, pemilik perusahaan taksi tempat mereka bekerja, hanya diam-diam manis, duduk di balik ruang ber-AC, sambil terus menikmati keuntungan.
Protes mereka itu menjadi lemah dan salah alamat. Terutama ketika yang disalahkan oleh mereka yaitu pihak yang menjadi pengelola taksi berbasis ‘On Line’ seperti “GrabCar”, “GrabTaksi” dan “UberTaksi”.
Perusahaan-perusahaan itu sudah mendunia di bisnis transportasi. Dan diantara pendiri perusahaan tersebut, anak-anak muda yang masuk generasi “Y”, generasi di bawah usia 30 tahun. Bandingkn dengan usia para pendemo termasuk birokrat yang mengurusi masalah bisnis berbasis ‘On Line’ ini. Ada kesenjangan usia yang sangat lebar termasuk perspektif dan pengetahuan.
Protes mereka akhirnya hanya menjadi bahan tertawaan terutama ketika mereka hendak memaksa masyarakat pengguna jasa yang sudah terlanjur suka , untuk kembali menggunakan taksi konvensional.
Boleh jadi betul bahwa taksi berbasis ‘On Line’ ini menabrak dan melanggar sejumlah UU di Indonesia. Dan pelanggaran itulah yang harus ditanggapi secara proporsional, profesional dan terukur. Sebab pelanggaran itu terjadi, bukan karena disengaja atau diniati.
Pelanggaran itu terjadi lebih karena teknologi berkembang lebih cepat dari pada antisipasi yang ada di dalam UU.
Pelanggaran perusahaan berbasis ‘On Line’ itu lebih berdasarkan asumsi sepihak semata. Pelanggaran itu terjadi karena belum ada UU yang mengatur soal taksi berbasis ‘On Line’. Sehingga tuduhan pelangaran itu lebih bersifat psikologis dan defensif.
Birokrat yang menuduh adanya pelanggaran itu terpaksa bersuara demikian, demi sebuah gengsi semata. Bukan karena sebuah kejujuran atau profesionalitas.
Lain halnya kalau perusahaan taksi berbasis ‘On Line’ tersebut beroperasi di Indonesia secara sembunyi-sembunyi. Atau semua uang hasil pendapatan dari Indonesia, hanya dimakan semua oleh pemilik dan pemiliknya pun berdomisili di uar Indonesia.
Semua pihak yang terlibat dalam kegiatan transportasi berbasis ‘On Line’ itu sama-sama menikmati manfaat. Tidak semua pendapatan masuk ke operator ataupun pemilik kendaraan. Bayar pajak, ini yang benar bahwa perusahaan itu tidak melakukannya. Tapi tidak berarti perusahaan ini seperti prilaku para pebisnis yang sengaja melakukan penghindaran membayar pajak (tax avoiding).
Ada pengemudi yang tadinya berstatus penganggur, tiba-tiba mendapat pekerjaan karena adanya perusahaan rental yang membuka taksi berbasis ‘On Line’. Bekas pengangur ini pun akhir puya penghasilan Rp. 7,2 juta per bulan.
Lantas apakah pengemudi yang bekas pengangguran ini harus disalahkan ? Atau apakah penggagas atas ide beroperasinya bisnis transportasi ini di Indonesia harus dianggap melakukan penyebaran sistem ekonomi neolib? Tidak juga kalee…..!
Jadi sekali lagi tudingan bahwa perusahaan taksi berbasis ‘On Line’ itu sebagai telah pelanggaran UU, bersifat sepihak dan datangnya dari birokrat yang “gaptek” atau gagap teknologi. Ironisnya, kendati “gaptek” tapi ingin menjadi pahlawan bagi para pengemudi taksi yang juga rata-rata lugu atas kehadiran bisnis digital dan teknologi informasi.
Ini yang tidak sehat, tidak patut, tidak jujur dan tidak beretika serta tak bertanggung jawab. Oleh sebab itu jika serius mau mengatasi persoalan atas keluhan para pengemudi taksi, caranya tidak harus dengan melakukan demo. Tidak perlu mendorong-dorong para buruh transportasi itu dengan solusi protes seperti aktifis yang suka cuap-cuap seperti anggota parlemen jalanan.
Apapun alasan dan kerugian para sopir taksi, lalu mereka diprovokasi oleh birokrat “gaptek” yang kebetulan bertugas mengurus negara, cara itu merupakan sebuah kesalahan besar. Sebab salah satu dampaknya sudah kita lihat dan rasakan sendiri, demo sopir taksi pada Selasa kemarin telah sangat mengganggu kelancaran aktifitas masyarakat.
Banyak anggota masyarakat yang menjadi korban atas demo sehari itu. Ada orang sakit yang perlu dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit, tak tertolong karena tidak tersedianya alat transportasi. Ada kaum papa dan duafa sebagai penumpang yang dipaksa turun dari taksi oleh para pendemo – demi sebuah tuntutan yang salah alamat.
Pada akhirnya kisruh taksi ‘On Line’ sudah berubah persoalannya. Telah menjadi isu politik yang terlalu dipaksakan.
Hadirnya taksi berbasis ‘On Line”, merupakan bagian dari invasi teknologi. Dan kita sebagai bangsa yang sekalipun besar dalam berbagai dimensi, tapi sangat kecil dalam penguasaan teknologi.
Termasuk Teknologi Digital dan Teknlogi Informasi yang aplikasinya digunakan di taksi barbasis ‘On Line’. Masyarakat pengguna jasa dengan cepat beralih atau lebih tertarik kepada takis berbasis ‘On Line’ sebab layanan yang mereka terima dari sistem ini, lebih nyaman, murah dan praktis.
Penguna jasa ini hanya dalam hitungan kurang dari satu menit – sepanjang ada koneksi internet, lewat telpon pintar (smart phone), sudah langsung tersambung dengan pengemudi. Itu berarti sebuah penghematan waktu. Untuk bisa menggunakan sistem ini, pemilik hand phone cukup melakukan down load atas aplikasinya.
Dengan sistem itu, pengguna jasa tidak harus pergi ke jalan, atau ke pangkalan taksi untuk mencari taksi.
Ketika sudah tersambung, di layar telepon langsung tertera peta lokasi dimana taksi yang akan melayani berada, nama pengemudinya, nomor telepon pengemudi dan perkiraan waktu penjemputan.
Di layar itu juga tertera berapa biaya yang harus dibayar ketika sudah dijawab pertanyaan, alamat tempat tujuan.
Dan kalau ingin merubah pesanan, penguna jasa, ikut dimudahkan. Sebab ada fitur yang memungkinkan melakukan pembatalan pesanan. Di sini terasa, hal yang sulit dimudahkan atau yang sudah mudah masih tambah dipermudah.
Dari informasi di layar hand phone itu saja, pengguna jasa sudah lebih dulu mendapat jaminan. Informasinya elementer tetapi sangat penting dan berarti bagi si pengguna jasa.
Hal yang disampaikan melalui telepon genggam seperti ini, tidak pernah atau belum pernah diberikan oleh perusahan taksi konvensional termasuk “Blue Bird” perusahaan angkutan taksi terbesar dan tertua di Indonesia.
Rasa aman ? Tentu saja hal ini menjadi faktor sangat penting. Sebab semua data dan komunikasi yang tertera di dalam smart phone pengguna jasa, otomatis tersimpan di file ‘history’.
Selain itu, detik itu juga, ketika masuk atau sebelum naik taksi, semua informasi di atas bisa di-forward ke keluarga dan teman. Caranya juga sangat mudah. Cukup memilih akun media sosial : WhatsApp dan Facebook dari keluarga atau teman, yang fiturnya sudah tersedia. Sekali klik, info keberadaan dan perjalanan kita sudah tersebar ke si penerima pesan tersebut.
Sehingga, amit-amit kalau terjadi tindakan kriminal terhadap penumpang – khususnya di sekitar waktu ketika menggunakan jasa taksi ‘On Line’, segala sesuatunya dengan mudah bisa ditelusuri.
Sedikitnya saya menyaksikan talk show oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan di TVOne dan SCTV, pada dua kesempatan yang berbeda. Semuanya terjadi dalam satu pekan terakhir ini.
Maaf beribu maaf, saya tak ragu menyatakan, ada kesan kesan Pak Menteri yang terkenal sukses memperbaiki kinerja PT Kereta Api, kali ini gagal paham tentang persoalan angkutan berbasis ‘On Line’.
Kesalahannya melarang beroperasinya ‘Go Jek’ tahun lalu yang kemudian dikoreksi oleh Presiden Joko Widodo, tidak dijadikannya sebagai bahan pembelajaran dan momen untuk menyesuaikan diri.
Bahkan entah oleh karena adanya masukan dari pembisiknya – yang mungkin hanya sekedar memberi bisikan, Menteri Jonan dengan cepat berreaksi. Ia meminta koleganya Menteri Kominfo, Rudiantara agar memblokir aplikasi yang digunakan oleh taksi berbasis ‘On Line’.
Beruntung Menteri Kominfo tidak serta merta mengikuti permintaan Menteri Perhubungan. Sebab kalau itu terjadi maka sindiran-sindiran yang beredar di media sosial dalam satu hari terakhir ini benar-benar akan terjadi. Yaitu PT Pos akan meminta supaya internet dilarang digunakan di Indonesia, berhubung teknologi ini telah membuat bisnis pengiriman surat, drop secara signifikan.
Para loper koran dan majalah akan melakukan demo besar-besaran terhadap perusahaan media berbasis Teknologi Informasi sepeti Detik Dotkom, Viva Dotkom dan sebagainya. Atau kayawan Matahari dan Ramayana Departemen Store juga akan meniru demo para sopir taksi. Mereka akan menuntut pemerintah supaya menutup perusahaan-perusahaan berbasis ‘On Line’ seperti “Buka Lapak”, “Tokopedia” , “Lavada” dan sebagainya.
Waduh, apa kata dunia …. Capek deh.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior