Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pengamat Geopolitik.
Margaret Mitchel dalam Gone With The Wind, mampu melukiskan secara tepat dan universal tentang watak manusia pasca perang.
Dilatari oleh suasana pasca perang saudara antara kubu Utara dan Selatan antara 1861-1865 yang berakhir dengan kekalahan kubu Selatan/Konfederasi, Margaret berhasil memunculkan sosok-sosok yang mewakili dua perwatakan, yang mencuat dalam kondisi pasca perang saudara.
Sosok seperti Scarlet O’harra, Rhett Butler, Mellie Hamilton Wilkes dan Paman Henry, dan dokter Mead, merupakan personifikasi orang-orang yang tidak larut menyesali kejayaan masa lalu dan meratapi kehancuran saat ini.
Mereka lebih memandang kekalahan mereka sebagai orang Selatan sebagai fase memasuki dunia baru dan babak baru, yang tidak kalah serunya sebagai peperangan dibanding perang saudara yang sudah usai.
Lantaran mindset dan perwatakan yang seperti itu, mereka jadi orang-orang yang bukan saja tegar, bahkan mampu bangkit dari keterpurukan, dan jadi orang sukses. Bahkan pada bidang-bidang yang tak terbayangkan sebelumnya.
Sebaliknya sosok seperti Gerard Oharra, ayah kandung Scarlett, Ashley Wilkes, Suellen adik kandung Scarlett, dan sosok-sosok lainnya di Georgia maupun Atlanta, merupakan orang-orang yang hancur lebur, karena merasa dunia sudah runtuh dengan kekalahan perang pihak Selatan.
Inilah situasi yang kalau kita paralelkan dengan situasi abad 21, persis seperti masa rekonstruksi di Afghanistan 2001 dan Irak pada 2003.
Boleh jadi kedalaman pemahaman Margaret Mitchel dalam membaca watak manusia di era perang saudara AS yang tetap relevan hingga kini, membuat novel Gone With The Wind tetap abadi.
Pesan tersirat dari babakan kisah yang saya ceritan tadi, bahwa kita boleh menengok masa silam, tapi akan sangat berbahaya dan mematikan, bilamana kita larut dan mengimpikan masa silam untuk tetap lestari di masa kini.
Ingatan erat kaitannya dengan waktu. Ketika ingatan kita terkurung di masa lalu, maka meski kita ada saat ini, namun diri kita sebenarnya sedang berada entah di mana. Kita tidak meruang.
Padahal Allah pun yang sejatinya maha dan serba, merasa perlu berseru: Demi Waktu.
[***]