KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memimpin delegasi parlemen Indonesia mengikuti Sidang Umum ke-38 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang diselenggarakan di Manila, Filipina. Sidang berlangsung pada tanggal 15-19 September 2017.
Delegasi DPR RI terdiri dari Dr. Nurhayati Ali Assegaf (F-PD), Juliari P. Batubara (F-PDIP), S.B. Wiryanti Sukamdani (F-PDIP), H. Firmandez (F-PG), Andi Achmad Dara (F-PG), Sartono Hutomo (F-PD), Lucky Hakim (F-PAN), Abdul Kadir Karding (F-PKB), Mahfudz Abdurrahman (F-PKS), dan Achmad Farial (F-PPP).
Rangkaian Sidang Umum AIPA diawali dengan pertemuan Komite Eksekutif AIPA yang membahas dan mengesahkan seluruh agenda persidangan.
Berbeda dengan pertemuan Komite Eksekutif di tahun-tahun sebelumnya, kali ini AIPA harus menggelar pertemuan Komite Eksekutif hingga dua kali karena mengalami kebuntuan dan tidak mencapai konsensus terhadap usulan Indonesia tentantg isu Rohingya yang dengan gigih diperjuangkan oleh Delegasi DPR RI.
Delegasi DPR RI menyampaikan posisi tegas agar parlemen negara-negara ASEAN memberikan sikap atas tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
Usulan Resolusi tersebut mendapat penolakan keras dari Myanmar sehingga mengakibatkan Sidang harus diskors untuk memberikan waktu bagi tuan rumah untuk memfasilitasi negosiasi antara Indonesia dan Myanmar.
“Kami sebenarnya sangat terbuka kepada Myanmar untuk mengkoreksi dan memperbaiki draf resolusi itu, jika mereka keberatan dengan redaksi awal yang kami bawa,” demikian dikatakan oleh Ketua Delegasi DPR RI Fadli Zon setelah mengikuti pertemuan Komite Eksekutif.
Delegasi DPR RI, kata politikus Gerindra ini, mencoba mencari jalan tengah dengan menawarkan rancangan resolusi yang dimodifikasi menjadi isu humanitarianism di Asia Tenggara namun delegasi Myanmar tetap menolak.
Bahkan, usulan Presiden AIPA, Pantaleon D. Alvarez, agar delegasi parlemen Myanmar membuat draf resolusi sendiri atas isu Rohingya pun tidak mendapat persetujuan dari pihak Myanmar.
“Jika mereka keberatan dengan nada kecaman terhadap aksi kekerasan atas etnis Rohingya, kami telah mengusulkan untuk memperlunak resolusi tersebut menjadi resolusi atas krisis kemanusiaan di Myanmar. Mereka menolak juga. Mereka mengatakan tidak ada krisis kemanusiaan di Myanmar,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh